PALEMBANG, GLOBALPLANET - Pemerintah harus membuat instrumen harga minyak goreng yang lebih tepat dan bijaksana untuk konsumen dan produsen. Hal ini disampaikan Ketua DPP APINDO sumsel, Sumarjono Saragih saat menjadi narasumber dalam diskusi CEO Talks mengulas polemik minyak goreng yang digelar IMA Chapter Palembang.
Acara yang digelar oleh Indonesia Marketing Association (IMA) Chapter Palembang ini dilaksanakan di Palembang Indah Mall pada Jumat (11/03/2022) dan dipandu oleh moderator Dosen Komuniksi Univ Bina Darma , Dr Rahma Santi.
Menurut Sumarjono Saragih, indonesia hanya butuh 6 juta ton untuk minyak goreng dari produksi 47 juta ton. 30 persen CPO dalam negeri sisanya 70 persen untuk ekspor.
“Jadi kalau dari angka produksi tidak ada alasan minyak goreng hilang atau langka,” katanya.
Naiknya harga minyak sawit sedang memanjakan petani, dengan harga yang tinggi sebuah keuntungan bagi petani tetapi dari naiknya harga ada yang meradang, disitulah pemerintah harus hadir.
“Harga CPO sebagai bahan baku migor harusnya dijual Rp 17 ribu tetapi pemerintah mengharuskan menjual minyak goreng Rp14 ribu, lalu dari mana mencari keuntungan dari selisih harga tersebut,” tambahnya.
Permasalahannya pemerintah menetapkan HET Rp14 ribu, dalam kondisi ini ada peluang kecurangan yang terjadi seperti penimbunan, ekspor illegal dan lain-lain.
Dr Rahma Santy menanyakan apakah dengan kondisi merugi menyebabkan perusahaan tidak produksi dan menimbulkan pasokan minyak goreng menjadi langka?.
“Sampai 31 januari pemerintah masih mensubsidi tapi setelah itu perusahaan diminta subsidi silang sendiri melalui ekspor yang dilakukan. Permasalahannya tidak semua perusahaan terintegrasi dan mampu subsidi sendiri,” terang Sumarjono.
“Pemerintah seharusnya membuat instrumen harga, karena tidak semua masyarakat bergantung kepada harga tapi ketersediaan minyak goreng yang utama, masyarakat ekonomi menengah ke atas tentunya tidak masalah membeli harga minyak goreng sesuai mekanisme pasar,” tambahnya lagi.