JAKARTA, GLOBALPLANET - Persoalan minyak goreng sawit sudah ditemukan akar masalahnya oleh Penegak Hukum Negara ini, dan sekarang sedang berproses hukum.
“Setidaknya itu pandangan saya dengan mengikuti berita ditetapkannya beberapa Orang Penting sebagai Tersangka terkait minyak goreng oleh Penegak Hukum,” demikian catat surat pembuka yang dtulis oleh petani kelapa sawit swadaya, Soaduon Sitorus, dikutip dari laman InfoSAWIT.
Lebih lanjut Soaduon Sitorus menulis, kalau hanya masalah ketersediaan minyak goreng sawit, bukankah sudah ada Kementerian Bapak yang ditugaskan untuk memastikan ketaatan Pengusaha pada aturan yang sudah ditetapkan? Dan Elemen-elemen Negara pun bisa Bapak perintahkan untuk saling memperkuat. Sebab Negara kita adalah Negara yang sangat besar dan kuat.
“Dan bukankah kekuasaan untuk mengganti dan memilih orang-orang yang kompeten juga ada di tangan Bapak?” catanya.
Jikalau Peraturan yang telah dibuat sudah dijalankan dengan baik, bukankah sudah selazimnya semua berjalan normal dan selesai masalah minyak goreng sawit?
Kalau toh tidak terjadi perbaikan setelah ditetapkannya Tersangka, bukankah yang harus dievaluasi adalah kinerja jajaran Kementerian terkait dan angka-angka dalam Domestik Market Obligation (DMO)?
Catat Soaduon Sitorus, dikira awalnya negara ini sedang memainkan Politik-Ekonomi berskala Global untuk mulai mengambil posisi sebagai Pengendali Harga Pasar Global.
Dengan penjelasan dan menyimak fakta lapangan yang tidak ada langkah antisipatif atas dampak Keputusan kepada perlindungan Pihak Terdampak Paling Rentan (petani sawit), semakin membjat Soaduon Sitorus percaya, kalau keputusan melarang Ekspor benarlah cuma untuk memastikan ketersediaan minyak goreng sawit dalam negeri.
“Kalau itu konsep pemikirannya, setiap terjadi kelangkaan lagi, stop ekspor lagi dengan sistem "Buka-Tutup Kran Ekspor". Bukankah ini akan menghancurkan bangunan Rantai Perdagangan Produk Sawit yang sudah dibangun berpuluh tahun oleh semua pihak, Pak?” catat Soaduon Sitorus.
Bukankah langkah itu akan menciptakan ketidakpastian dagang dalam kontrak-kontrak transaksi, karena sewaktu-waktu kran ekspor bisa tutup? Pemikiran seperti ini akan sangat mengkuatirkan semua pelaku usaha.
“Ketidakpastian ini juga akan mendorong negara-negara yang membutuhkan akan terus berusaha menghindari ketergantungannya,” tulis Soaduon Sitorus.
Sebagai produsen terbesar dunia, bukannya seharusnya merawat kepastian sekaligus menciptakan ketergantungan negara-negara lain terhadap produk unggulan bangsa ini?
Tulis Soaduon Sitorus, mungkin Bapak Presiden marah atau kecewa karna persoalan minyak goreng sawit. “Tapi saya sebagai petani sawit memohon jangan lampiaskan amarah kekecewaan Bapak dengan memilih jalan pintas "Buka-Tutup Kran Ekspor". Dampaknya memporak-porandakan Rantai Perdagangan. Dan, Petani Sawit jadi tatakannya Pak. Ada jutaan nyawa petani sawit bergantung di buah sawitnya pak,” kata Soaduon Sitorus.
Sepertinya Presiden perlu lebih banyak tau bagaimana perjalanan panjang penderitaan petani sawit selama harga Tandan Buah Sawit sedang murah. Sebagian besar penyandang status petani sawit bukan orang kaya pak, tapi orang miskin yang terlilit hutang ke "toke".
Untuk tahun ini mereka mempunya banyak harapan dengan membaiknya harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit, sekalipun terbeban berat oleh harga pupuk dan pestisida yang melambung sangat tinggi.
“Namun menjelang suka-cita yang mereka tunggu-tunggu, mereka kehilangan sebagian besar pengharapannya, seketika harga sawit anjlok sangat dalam, bahkan terpangkas lebih 60%. Mereka dititik harga yang benar-benar sangat tidak wajar. Ini benar-benar sumber pendapatan utama yang hilang. Bagaikan petir di siang bolong, mereka tersambar. Sebagian mereka mengeluarkan air mata kekuatiran menyambut Lebaran. Semoga Tuhan memberikan penghiburan buat keluarga mereka. Semoga mereka bisa makan ketupat juga,” kata Soaduon Sitorus.
lebih lanjut Soaduon Sitorus menulis, bila Bapak Presiden ketemu petani sawit sejahtera yang benar-benar penghasilannya dari sawit, jangan lupa tanyakan berapa luas kebunnya dan berapa modalnya. “Mereka bukan potret umum petani sawit, Pak,” tandas dia.