JAKARTA, GLOBALPLANET - Ibarat pepatah anak ayam mati di lumbung, itu yang terjadi dalam sengkarut minyak goreng yang dihadapi masyarakat Indonesia sekarang. Hukum ekonomi, suplay and demand kelihatannya tidak berlaku dalam produksi CPO yang begitu besar jumlahnya, dengan ketersediaan minyak goreng yang bahan bakunya dari CPO.
Pemerintah telah berupaya dengan keras membuat kebijakan untuk mengendalikan dan menstabilkan harga minyak goreng sawit ini, namun hingga saat ini belum membuahkan hasil. Berbagai kebijakan telah dicoba mulai dari kebijakan minyak goreng bersubsidi, minyak goreng satu harga, sampai kewajiban memasok kebutuhan pasar dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) CPO dan olein.
Kebijakan ini digantikan dengan kebijakan lain lantaran masih belum mampu mengurai benang kusut minyak goreng dalam negeri. Bahkan, kebijakan DMO CPO dan olein, serta harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah, kemasan sederhana dan premium yang sebenarnya sudah mulai mampu menurunkan harga, turut diganti (Kompas, 04/04/2022).
Kebijakan baru dengan hanya memberi subsidi pada minyak goreng sawit curah dan harga minyak goreng sawit kemasan sederhana dan premium diserahkan kemekanisme pasar per 16 Maret 2022 lalu pun dianggap belum cukup untuk untuk menstabilkan stok dan harga minyak goreng di dalam negeri. Gagal merendam tingginya harga minyak goreng, pemerintah Jumat (01/04/2022), mengumumkan penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) untuk meringankan beban masyarakat.
Bantuan langsung tunai ini menyasar 20,5 juta warga miskin penerima Bantuan Pangan Non Tunai dan Program Keluarga Harapan serta 2,5 juta pedagang kaki lima penjual gorengan . Besarnya Rp. 100.000 per bulan, dibayarkan sekaligus di muka untuk tiga bulan (Aprili – Juni).
Sebagai produsen minyak sawit (CPO), Indonesia merupakan eksportir terbesar dunia yang diuntungkan dengan adanya kenaikan harga minyak sawit (CPO) dunia akibatnya terbatasnya pasokan dari negara-negara produsen minyak nabati dari bunga matahari. Hukum ekonomi suplay and demand berlaku dalam perdagangan di pasar global.
Ditambah lagi dengan adanya perang antara Rusia dan Ukrania, tidak hanya minyak sawit yang harganya membumbung tinggi, tetapi juga minyak mentah harganya meroket naik dua kali lipat yang tadinya hanya US$ 50/barel naik menjadi lebih dari US$ 100/barel. Akibatnya, harga minyak sawit (CPO) di dalam negeripun juga ikut naik. Tanpa ada intervensi dari pemerintah, dengan sendirinya industri minyak goreng harganya akan naik, mengikuti kenaikan harga CPO sebagai bahan baku minyak goreng.
Intervensi pemerintah menunjukkan bahwa negara hadir untuk melindungi warganya melalui kebijakan yang diambil. Sayangnya, kebijakan ditetapkan pemerintah masih berkutat dan baru pada daerah hilir dan belum menyentuh daerah hulunya yaitu tata kelola kebun sawit yang utuh.
Kebijakan pemerintah dalam mengendalikan stok dan harga minyak goreng sawit didalam negeri adalah salah satu contoh kebijakan hilir dalam rangkaian tata kelola sawit secara keseluruhan. Keterlanjuran penguasaan kebun sawit yang begitu besar dan dominan oleh pihak swasta, membuat ruang gerak pemerintah dalam membuat kebijakan disektor hilir menjadi terbatas.
Dapat dimengerti apabila dalam tahun ini saja, untuk mengatasi isu minyak goreng sawit, pemrintah telah mengeluarkan 11 kebijakan dalam rangka stabiliasi harga dan pasokan. Kendati kelangkaan pasokan tak lagi terjadi di sebagian pasar, namun harga tetap bertahan tinggi.
Kebijakan terakhir yang cukup radikal dan termasuk keras (heavy) pada 28 April 2022, diambil oleh Presiden Jokowi dengan melarang ekspor minyak sawit mentah (CPO) berserta produk turunannya sampai waktu yang tidak ditentukan. Kepentingan utama masyarakat banyak lebih diprioritaskan dari pada sekedar mengejar pendapatan devisa negara, sementara rakyat banyak menderita gara-gara kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng dinegeri sendiri yang kaya kebun sawit dan merupakan produsen terbesar minyak sawit (CPO) di dunia.
Pemerintah juga dapat memberikan alternatif lain berupa subsidi penuh kepada minyak goreng sawit curah dan kemasan tanpa adanya pembedaan, agar harga minyak goreng dipasaran dapat ditekan sambil membenahi tata kelola sawit dari hulu sampai hilir.
Kebijakan hilir yang diambil selama ini –termasuk memberikan bantuan tunai langsung- ternyata hanya bersifat parsial dan tidak menyentuh pada akar masalahnya. Belajar dari negera Saudi Arabia yang merupakan negara terbesar penghasil minyak bumi dunia, meskipun harga minyak dunia telah menyentuh harga sampai diatas US$ 100/barel, bukan berarti harga BBM di dalam negeri ikut menjadi naik, karena kebutuhan warganya untuk BBM disubsidi penuh oleh pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.
Kalau Saudi Arabia mampu memberikan subsidi penuh harga BBM dalam negeri, kenapa Indonesia tidak dengan harga minyak gorengnya?. Toh sama-sama negara produsen terbesar di dunia, yang satu komoditas minyak bumi, yang satu lagi komoditas minyak sawit.
Penulis: Pramono Dwi Susetyo
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan