JAKARTA, GLOBALPLANET - Sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mendukung ekspor, volume ekspor produk minyak sawit nasional di prediksi akan meningkat pada Agustus 2022.
“Perihal volume ekspor bulan Agustus seharusnya sudah naik dibandingkan bulan Juli, tetapi rasanya masih sekitar 3 jutaan (ton),” ujar Sekretaris Jenderal, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, dilansir di Kontan.co.id (17/8).
Berdasarkan data Gapki, ekspor produk minyak sawit Indonesia mencapai 2,33 juta ton pada bulan Juni 2022 lalu. Jumlah tersebut terdiri atas ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebesar 109.000 ton, olahan CPO 1,80 juta ton, minyak inti sawit mentah atau crude palm kernel oil (CPKO) 6.000 ton, olahan CPKO 48.000 ton, biodiesel 33.000 ton, dan oleokimia 336.000 ton.
Kontan.co.id mencatat, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan bahkan sempat menyebutkan bahwa eksportir yang turut mendistribusikan domestic market obligation (DMO) dalam bentuk minyak goreng kemasan merk Minyakita di dalam negeri akan dapat mengekspor CPO menjadi 13,5 kali lipat.
“Dengan meningkatkan angka pengali konversi hak ekspor menjadi 1:9, serta ditambah insentif pendistribusian DMO dalam bentuk minyak goreng kemasan merk Minyakita, maka perusahaan akan dapat mengekspor 13,5 kali lipat dari realisasi DMO. Lebih tinggi dari sebelumnya,” terang Zulkifli.
Menurut Eddy, kebijakan pelonggaran ekspor yang ditetapkan oleh pemerintah mendorong kenaikan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani. Ia mencatat, harga TBS petani masih di bawah Rp 1.000 per kilogram (kg) ketika pungutan ekspor belum ditiadakan pada Juni 2022 lalu.
Seturut peniadaan pungutan ekspor dan penurunan bea keluar, harga TBS sudah naik ke angka sekitar Rp 1.800-an per kilogram, menurut catatan Eddy.
“Kalau ekspor lancar maka stok tangki-angki akan berkurang, ini akan berakibat pembelian TBS petani juga lancar,” imbuh Eddy.
Di lain pihak, permintaan di pasar domestik masih menjanjikan bagi sebagian perusahaan sawit. PT Cisadane Sawit Raya Tbk (CSRA) mengaku belum berencana mencuil peluang pasar ekspor di tengah pelonggaran kebijakan yang ada.
Perusahaan CPO tersebut berdalih, permintaan domestik yang tinggi sehingga masih ingin berfokus pada segmen pasar tersebut.
“Sampai saat ini masih belum ada rencana ekspor, karena kami masih kewalahan dalam memenuhi kebutuhan domestik,” Corporate Secretary PT Cisadane Sawit Raya Tbk Iqbal Prastowo (16/8).
Sampai tutup tahun nanti, CSRA mengejar target pertumbuhan produksi dan volume penjualan CPO tahunan sekitar 10% dibanding realisasi tahun 2021 lalu. Tahun 2021 lalu, CSRA mencatatkan produksi CPO sebesar 39.310 ton dengan realisasi volume penjualan CPO 39.428 ton.
“Terkait dengan pelonggaran ekspor ini tentunya CSRA menyambut baik kebijakan tersebut karena akan memulihkan kondisi pengusaha dan petani serta tentunya devisa negara di sektor sawit. Namun demikian, bagi CSRA hal tersebut tidak terlalu memberikan dampak yang signifikan karena kami masih berorientasi pada pasar domestik,” tutur Iqbal.
Sama halnya seperti CSRA, PT Sampoerna Agro Tbk juga masih mengandalkan permintaan domestik.
“Meski kami tidak berdampak langsung karena hampir 100% penjualan CPO Perseroan dijual untuk pasar domestik, dengan adanya relaksasi ekspor akan memberikan dampak yang positif terhadap penjualan CPO di Indonesia,” ujar Head of Investor Relation Sampoerna Agro Stefanus Darmagiri (16/8).
Tahun ini, SGRO berharap bisa mencatatkan pertumbuhan produksi TBS sebesar 5%-10% dibanding realisasi tahun 2021 lalu. Mengutip laporan tahunan perusahaan, Produksi TBS SGRO di tahun 2021 mencapai 1,80 juta ton, 62%-nya dipasok oleh perkebunan inti perusahaan.