JAKARTA , GLOBALPLANET - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) berharap menjelang resesi komoditas kelapa sawit memiliki ketahanan yang didorong serta oleh pemerintah.
Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono saat memberikan sambutan dalam acara Pembukaan 18th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) and 2023 Price Outlook di Bali International Convention Center (BICC) di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/11/2022).“
(Saya berharap) pemerintah Indonesia dalam upaya pencegahan resesi ini yang semestinya mendorong komoditas ini punya ketahanan terhadap resesi,” ucap Joko.
Joko mengungkapkan industri sawit perlu tetap optimistis karena banyak peluang baru terbuka ke depan, usai dihantam pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir.
Namun, persoalan baru, seperti isu geopolitik yakni perang antara Rusia dan Ukraina serta potensi resesi ekonomi dan pangan di 2023 mendatang, masih akan membayangi dinamika negara-negara penghasil minyak kelapa sawit.
Kendati demikian, menurutnya, berbagai persoalan itu justru bisa menjadi peluang bagi Industri kelapa sawit, karena dalam situasi bullish harga CPO juga global sangat menguntungkan.
“Ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk memainkan peran penting dalam mengarahkan industri, karena selalu berdampak pada bagaimana industri akan berjalan,” kata Joko.
RI Tegaskan Sawit Ramah Lingkungan
Sementara itu, Duta Besar RI untuk Kerajaan Belgia dan Uni Eropa, Andri Hadi mengaku terus menggaungkan sawit sebagai komoditas ramah lingkungan di kawasan Uni Eropa (UE). Menurutnya, minyak sawit adalah komoditas sawit juga telah memenuhi standar-standar global terkait aspek keberlanjutan.
“Pada Juli 2022 lalu, Indonesia bersama sejumlah negara produsen yang komoditasnya terkena dampak telah menandatangani surat bersama yang dikirimkan kepada para pemimpin Uni Eropa,” kata Andri.
ndonesia, sambungnya, akan mendorong produk komoditas Indonesia seperti sawit punya peran penting dalam pencapaian SDGs termasuk mendukung petani kecil.
Tantangan industri sawit ke depan tidak mudah. Selain aturan WTO yang ketat terkait sawit, berbagai regulasi seperti peraturan terkait deforestasi dan kelestarian lingkungan tetap kita ikuti dan hormati.
Meski memberlakukan aturan ketat, menurut Hadi, UE membutuhkan minyak sawit dan dari negara produsen seperti Indonesia dan Malaysia dalam jumlah signifikan.
“Minyak sawit Indonesia memegang 30-40 persen dari impor UE untuk minyak nabati,” kata Andri Hadi.
Andri menambahkan permintaan produk CPO terus menguat terutama pada awal perang Rusia-Ukraina terutama akibat gangguan rantai pasokan, dan pemulihan global pascapandemi Covid-19.
“Minyak sawit dapat memenuhi permintaan UE akan minyak nabati, sehingga membantu ketahanan energi di kawasan ini,” kata Andri.