PALEMBANG, GLOBALPLANET - Komoditas kelapa sawit memecahkan rekor tertinggi dalam sejarah dengan menyumbang devisa ekspor mencapai USD 35 miliar atau lebih dari Rp530 triliun tahun 2021.
Hal tersebut disampaikan oleh Tofan Mahdi, Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) dalam kegiatan yang digelar oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) bekerja sama dengan komunitas Generasi Sawit Indonesia pada Talkshow GenSawit Corner Eps. 5 yang bertajuk “Kenali Keutamaan dan Aspek Sustainability Minyak Sawit untuk Consumer Goods” di Aloft Hotel, Jakarta pada (31/10/2022).
Dalam siaran pers disebutkan bahwa kegiatan ini dilakukan secara hybrid yang diikuti lebih dari 100 orang Mahasiswa/i yang berasal dari beberapa universitas di DKI Jakarta dan sekitarnya.
Selain mengikuti kegiatan talkshow tersebut, peserta kegiatan yang notabene merupakan Mahasiswa/i antusias dan aktif untuk bergabung menjadi anggota komunitas Generasi Sawit sebagai garda pemuda pembela sawit di Indonesia.
Lebih lanjut dijelaskan Tofan, selain sebagai penyumbang devisa negara terbesar, sawit juga disebut sebagai industri yang mampu meningkatkan sektor tenaga kerja.
Bahkan, jumlah tenaga kerja langsung dan tidak langsung yang bergantung hidup kepada sektor industri sawit mencapai lebih dari 17 juta orang.
“Ketika dalam kurun 15-20 tahun terakhir dalam pasar minyak nabati dunia, pangsa pasar sawit menjadi nomor satu mengalahkan komoditas minyak nabati yang dihasilkan oleh negara-negara di benua Amerika maupun Eropa. Selama minyak sawit masih menjadi nomor satu dalam persaingan pasar minyak nabati global, tudingan bahwa minyak sawit merusak lingkungan dan lain sebagainya itu akan selalu ada,” kata Tofan.
Berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah maupun berbagai pihak dalam memastikan standar keberlanjutan dari industri sawit. Menurut Tofan, hal itu diupayakan untuk menjaga standar dari tingkat produksi maupun memperkuat pernyataan bahwa seluruh perusahaan sawit memiliki sertifikasi dalam menjaga mutu perusahaannya.
“Indonesia punya satu kebijakan yang sifatnya mandatori, yaitu Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) Certification dan itu bukan satu-satunya sertifikasi keberlanjutan. Banyak perusahaan yang menggunakan standar sertifikasi keberlanjutan yang sifatnya volunteery, misalnya ada RSPO dan lain sebagainya. Saya yakin salah satu tujuannya itu adalah mengurangi dampak yang ditimbulkan dengan proses yang bersifat pembangunan dan pemberdayaan di lingkungan yang ditanami kebun sawit,” katanya.
Sementara itu, Dr. Darmono Taniwiryono, Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) menyampaikan, sawit sebagai sumber minyak nabati paling sustainable baik dari segi ekonomi, yang dibuktikan dengan produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya. Tidak hanya itu, dari segi lingkungan ungkap Dr. Darmono, kebun sawit paling adaptif terhadap keanekaragaman hayati.
“Saya contohkan, tidak akan ada harimau, gajah, buaya, ular yang hidup nyaman di bawah pohon kedelai, jagung, kanola atau bunga matahari, tetapi berbanding terbalik dengan di kebun sawit,” tegas Dr. Darmono.
Lebih lanjut dikatakan Dr. Darmono, dari satu hektar kebun sawit, tidak hanya menghasilkan minyak, tetapi juga menghasilkan biomassa lignoselulosa sebesar 28 kali dibandingkan biomassa kedelai. Terkait kampanye negatif yang dibuat oleh Uni Eropa, hal tersebut bertujuan untuk dua kepentingan ekonomi global yakni persaingan pasar minyak nabati dan upaya menadapatkan kredit karbon yang tinggi.
Hadir dalam kesempatan tersebut, Abdul Aziz, Wakil Pemimpin Redaksi Investor Daily yang menyampaikan bahwa kampanye negatif yang dilakukan Uni Eropa dan gencar disebarkan di media, baik dari aspek lingkungan maupun kesehatan harus di-counter dengan kegiatan sosialisasi yang masif.
“Kami melihat di media, sosialisasi dan counter terhadap isu negatif sawit harus terus dilakukan. Sehingga lambat laun, masyarakat internasional juga akan sadar bahwa sawit ternyata tidak seperti yang dituduhkan,” kata Aziz.