loader

GAPKI Sumsel Buka-bukaan soal Industri Sawit di South Sumatra Economic Outlook 2024

Foto
Ketua Bidang Komunikasi, Publikasi dan Kampanye Positif GAPKI Sumsel Anung Riyanta (kemeja putih) bersama pembicara lain di South Sumatra Economic Outlook 2024 di Palembang, Selasa (19/12/2023).

PALEMBANG, GLOBALPLANET - Terms Of Reference (TOR) South Sumatra Economic Outlook 2024 "Komoditas dan Keberlanjutan Ekonomi Sumsel" berlangsung di Hotel Santika, Jalan Radial, Palembang, Selasa (19/12/2023).

Komoditas seperti kelapa sawit, karet, dan batu bara memiliki peran sentral dalam menopang perekonomian Sumsel. Selama puluhan tahun, Sumsel membanggakan diri sebagai "Lumbung Pangan dan Lumbung Energi", namun perekonomiannya masih terpaku pada sektor primer yang belum mampu menggambarkan nilai tambah yang optimal.

Sementara untuk komoditas kelapa sawit, Sumsel berada di peringkat ke enam dalam luas perkebunan sawit, setelah Riau, Kalbar, Kalteng, Sumut, dan Kaltim.

Sebagai Pembicara atau Narasumber dalam kegiatan ini, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Sumatera Selatan Ibu Regina Ariyanti (diwakilkan oleh Kasubbid Pendanaan Pembangunan Amiruddin), Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Nurcahyo Heru Prasetyo.

Kemudian, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumatera Selatan Alex Sugiarto (diwakilkan Ketua Bidang Komunikasi, Publikasi dan Kampanye Positif GAPKI Sumsel Anung Riyanta), dan Ketua Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (GAPKINDO) Sumatera Selatan Alex K Eddy.

Adapun peserta dihadiri beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, Korporasi, Asosiasi dan Media.

Ketua Bidang Komunikasi, Publikasi dan Kampanye Positif GAPKI Sumsel, Anung Riyanta dalam paparannya mengatakan GAPKI telah berdiri sudah cukup lama yakni 27 Februari 1981 di Sumatra.

"Jadi (GAPKI hadir) untuk menyatukan para pengusaha kelapa sawit baik BUMN maupun perkebunan swasta. Untuk Sumatera Selatan berdiri 2 Agustus 2007 yang anggotanya 77 perusahaan," kata Anung.

Sumsel, berdasarkan data statistik Disbun ada 277 perusahaan dengan tanaman inti punya perusahaan 712 ribu hektare. Kemudian plasma punya petani tetapi kerja sama dengan perusahaan ada 315 ribuan hektare. Lalu ada juga swadaya atau petani yang menanam sendiri. 

Produksi sawit Sumsel sekitar 3,3 juta ton per tahun. Sumsel juga memiliki 85 PKS (pabrik kelapa sawit) dengan kapasitas 4,6 ribu ton per jam. "Jadi, Kapasitas cukup tinggi," ucapnya.

Anung merinci, perkebunan besar di Sumsel yang paling banyak berada di Kabupaten Banyuasin ada 65 perusahaan. Namun secara luasan, yang paling luas di Kabupaten Musi Banyuasin. 

"Pemerintah mewajibkan kebun plasma minimal 20 persen dan per kabupaten seperti ini sudah dilihat lebih dari 20 persen, bahkan sudah 40 persen, jadi ini rata - rata sudah terpenuhi," ujarnya.

Menurut Anung, industri sawit juga menghadapi banyak tantangan yang perlu strategi menghadapinya. Pertama penanaman atau replanting, di mana kita tahu sama dengan karet, tanaman sawit sudah banyak yang tua dan perlu peremajaan. Kedua, biaya produksi terus naik didorong kenaikan upah, harga pupuk, logistik, dan lainnya.

"Tantangan lainnya kawasan hutan. Jadi masalah overlapping hutan dengan sawit ini sangat meresahkan. Misalnya petani di Sungai Lilin, yang banyak diklaim masuk kawasan hutan. Padahal sudah puluhan tahun menanam, punya sertifikat hak milik, inilah yang menjadi perhatian kita semua," terangnya.

Anung menjelaskan, di satu sisi petani sudah memilik sertifikat dari BPN, di sisi lain KLHK masih mengklaim itu kawasan hutan. "Begitu juga dengan perusahaan, di mana proses untuk mempunyai HGU itu sulit baik ijin operasi, dari survei, tim terpadu, setelah dinyatakan clear and clean punya HGU namun kenyataan beberapa masih diklaim sebagai kawasan hutan," tuturnya.

Lebih jauh Anung memaparkan, bahwa meski Uni Eropa merupakan produsen minyak nabati seperti minyak jagung, bunga matahari, dan sebagainya. Tetapi, Uni Eropa juga merupakan importir tradisional minyak sawit dengan volume 4 hingga 5 juta ton per tahun. "Ini merupakan persaingan. Kebijakan Uni Eropa dilandaskan untuk melindungi produsen minyak nabati mereka sekaligus menekan harga kelapa sawit," katanya.

Anung mengatakan Indonesia seharusnya mendorong pasar baru kelapa sawit terutama ke Afrika yang saat ini sudah mulai. 

"GAPKI sudah memberikan masukan terhadap draf EUDR baik secara tertulis maupun sekaligus langsung kepada dubes dari Eropa yang ada di Jakarta," ungkapnya.

Anung memastikan industri kelapa sawit Indonesia terus menuju industri yang berkelanjutan. Perkebunan kelapa sawit terutama anggota GAPKI menggunakan sertifikasi ISPO dan RSPO sebagai acuan.

"Produksi sawit dalam empat tahun terakhir relatif stagnan, konsumsi dalam negeri naik secara konsisten terutama perubahan karena mandatoring biodiesel. Membanggakan Avtur pesawat sudah juga menggunakan bioavtur dari sawit," tuturnya.

Kemudian mengenai TBS (tandan buah segar) sawit, sambung Anung, harga TBS dari petani harganya ditentukan oleh pemerintah. Masih terdapat selisih dengan daerah lain karena karena ekspor masih melalui Pelabuhan Belawan di Dumai.

"Pelabuhan Tanjung Api - Api (harus) segera, karena kerugian bukan hanya kepada perusahaan tetapi juga petani. Untuk itu perlu perhatian dari pemda," ujarnya.

Share

Ads