JAKARTA, GLOBALPLANET - Perpres 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertfikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia maka Lembaga Sertifikasi lah yang bertindak sebagai eksekutor dalam menerbitkan sertifikat ISPO,” begitulah penegasan Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis pada Webinar Nasional bertajuk “ISPO Pasca Terbitnya Perpres No.44 Tahun 2020” yang diselenggarakan FP2SB (Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan), Majalah HORTUS Archipelago dan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit, Rabu (15/7/2020), di Jakarta.
Musdhalifah menambahkan, selaku regulator, pemerintah akan menyediakan regulasi, melakukan monitoring dan evaluasi, serta tidak melakukan intervensi dalam proses penilaian dan penerbitan sertifikat. Hal ini untuk menjamin adanya independensi.
Dirjen Perkebunan, Kasdi Subagyono yang juga tampil sebagai pembicara pada webinar tersebut mengatakan, dalam rancangan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) yang saat ini sedang dimatangkan, kepemilikan sertifikat ISPO ini wajib untuk perusahaan perkebunan dan pekebun (5 tahun sejak diberlakukan Perpres bagi pekebun).
Selain itu, prinsip dan kriteria pekebun (tidak dibedakan antara petani plasma dan petani swadaya). Sertifikasi ISPO dilakukan Lembaga Sertifikasi dan disahkan pimpinan LS.
Dalam rancangan Permentan itu juga diatur kelembagaan ISPO yang terdiri dari Dewan Pengarah yang diketuai oleh Kemenko Perekonomian dan Komite ISPO yang diketuai oleh Menteri Pertanian.
Dewan Pengarah ISPO beranggotakan Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Menteri Perindustrian, serta Menteri Perdagangan.
Dewan Pengarah ini bertugas, menyusun kebijakan pengembangan dan standar Sistem Sertifikasi ISPO; melakukan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan sertifikasi ISPO; serta membentuk dan menetapkan Komite Sertifikasi ISPO.
Adapun Komite Sertifikasi ISPO beranggotakan unsur pemerintah, profesional, akademisi, KAN ALSI, pemantau independen, dan narasumber utama (prominent). Tugasnya adalah menjabarkan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Dewan Pengarah; menyusun dan mengembangkan Sertifikasi ISPO; melakukan pembinaan kepada unit usaha kelapa sawit (auditee); mengawasi pelaksanaan dan mengevaluasi proses sertifikasi ISPO; membangun sistem informasi kelapa sawit berkelanjutan; dan melakukan kerjasama dengan KAN dalam rangka akreditasi Lembaga Sertifikasi (LS) ISPO.
Pada webinar yang diikuti sekitar 500 peserta dari pelbagai pemangku kepentingan industri sawit nasional tersebut, Ketua Komite Akreditasi Nasional (KAN), Kukuh S. Achmad menjelaskan, KAN akan memberikan akreditasi kepada LS ISPO yang telah mendapatkan pengakuan dari Komisi ISPO dengan masa berlaku sertifikat akreditasi sesuai dengan masa berlaku pengakuan dari Komisi ISPO.
Selain itu, LS ISPO diberikan masa transisi selama 1 tahun untuk melakukan penyesuaian terhadap persyaratan SNI ISO/IEC 17065:2012 dan diverifikasi kesesuaiannya melalui analisis gap. Bagi LS ISPO yang tidak dapat memenuhi persyaratan SNI ISO/IEC 17065:2012 sesuai batas waktu yang telah ditetapkan maka akan dicabut akreditasinya.
Direktur Penghimpunan Dana BPDPKS, Sunari yang juga menjadi pembicara mengatakan, Keputusan Dirjen Perkebunan No. 144/Kpts/OT.05/4/2020 tentang Pedoman Teknis Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit dalam Kerangka Pendanaan Badan Pengelolan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, menjelaskan ihwal verifikasi teknis.
Verifikasi teknis dalam keputusan Dirjen Perkebunan ini dimaksudkan dalam rangka menciptakan perkebunan kelapa sawit yang dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip bekelanjutan melalui sertifikasi ISPO. Verifikasi teknis pada perkebunan kelapa sawit berupa proses sertifikasi dan/atau sertifikasi ISPO. Adapun sasaran penerima adalah kelompok tani/gapoktan/koperasi, dan kelembagaan ekonomi pekebun lainnya.
Untuk bisa melakukan verfikasi teknis harus memenuhi sejumlah persyaratan. Di antaranya, pekebun sawit bersangkutan tergabung dalam Kelompok Tani/Gapoktan/koperasi atau kelembagaan ekonomi pekebun lainnya; memiliki legalitas dan susunan pengurus Kelompok Tani/Gapoktan/koperasi atau kelembagaan ekonomi pekebun lainnya; serta berbadan hukum atau terdaftar pada instansi terkait yang berwenang.
Persyaratan lainnya yakni berupa surat keterangan kepemilikan lahan tidak dalam status sengketa yang diperoleh dari Kepala Desa/Lurah/Camat atau Kepala Dinas daerah Kabupaten/kota atau Pejabat Kantor Pertanahan setempat sesuai kewenangan.
Sertifikat tanah, akta jual beli tanah, girik atau bukti kepemilikan lainnya yang sah juga menjadi salah satu persyaratan berikutnya. Terkait dengan dokumen kepemilikan lahan ini jika nama pekebun tidak sesuai dengan surat tanah maka harus dilengkapi dengan surat keterangan dari pejabat yang berwenang.
Menurut Kasdi, hingga 30 Juni 2020, Komisi ISPO telah menerbitkan 621 sertifikat ISPO yang mencakup luas area perkebunan sawit 5.450.329 ha atau 38,03% dari total luas kebun sawit 14,33 juta Ha; dengan produksi CPO 13.003.424 ton/tahun atau 32,05% dari total produksi CPO 40,57 juta ton/tahun; dengan produktivitas 11,05 ton/ha.
Jumlah sertifikat tersebut terinci atas Perkebunan Besar Swasta (PBS) sebesar 557 sertifikat dengan luas areal 5,151,481 ha (66,15% dari luas total 7,788 juta ha); Perkebunan Besar Negara (PBN) sejumlah 50 sertifikat dengan luas areal 286.590 ha (40,20% dari luas total 713 ribu ha), dan perkebunan rakyat (PR) sejumlah 14 pekebun (koperasi plasma dan koperasi swadaya) seluas 12.270 ha (0,21% dari luas total 5,827 juta ha).
Sementara pelaku usaha perkebunan yang ikut sertifikasi ISPO dilaporkan sebanyak 779 unit, yang terdiri dari 761 perusahaan; 11 KUD/KSU Kebun Plasma; 1 Bumdes; 6 Koperasi/Asosiasi Kebun.
GAPKI Sebut Masih Ada Tantangan ISPO
Pembicara lainnya, Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengungkapkan, tantangan dalam sertifikasi ISPO selama ini adalah, anggota Gapki yang sudah bersertifikat ISPO belum dapat menjual CPO dan Produk Turunannya sebagai Produk ISPO di tingkat local, nasional serta internasional.
Tantangan berikutnya, ISPO dari aspek tata kelola yang berkelanjutan sudah diketahui, namun dari aspek produk ISPO-nya belum bisa “diketahui oleh berbagai pihak“ secara nasional maupun internasional. Selain itu juga anggota Gapki belum bisa menyatakan klaim produk ISPO yang sudah diverifikasi oleh lembaga independen terakreditasi.