JAKARTA, GLOBALPLANET - Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Tofan Mahdi, mengatakan, kampanye penolakan produk sawit Indonesia masuk ke Swiss sudah dimulai sejak tahun lalu, dimulai dari referendum penolakan produk sawit Indonesia yang digagas sejumlah LSM dengan menggalang tanda tangan dari masyarakat Swiss.
"Ini bagian dari strategi besar atau upaya sistematis dari negara maju untuk menghadang ekspansi produk minyak sawit Indonesia masuk ke negara mereka. Memang itu menjadi masalah kita di Eropa dan sejumlah negara lainnya," ujar dia saat dibincangi Globalplanet.news.
Tofan menjelaskan, kondisi ini akan terus terjadi selama pangsa pasar sawit menjadi nomor satu minyak nabati di dunia. Dimana ini menjadi bagian perang dagang negara-negara Eropa dan negara maju lainnya untuk menghadang masuknya minyak sawit Indonesia dan Malaysia.
"Mereka melakukan upaya untuk menjatuhkan reputasi dari produk minyak sawit, termasuk negara-negara Skandinavia. Walaupun negara-negara Skandinavia menyatakan tidak memboikot produk sawit Indonesia, namun mereka menjadi penyumbang dana terbesar untuk aksi penolakan sawit," beber dia.
Kodisi serupa, sambung dia, akan terjadi di Amerika, karena komoditas sawit Indonesia akan mendapatkan tantangan besar di masa kepemimpinan Presiden AS Joe Biden. "Kalau Donal Trump menghapus dana perubahan iklim. Joe biden ini menegaskan climate change ini menjadi perhatian besar, itu dana perubahan iklim akan semakin besar dan dialokasikan untuk menggempur industri sawit, 2021-2025 ini akan menjadi ancaman besar. Sebab, dimasa Presiden Joe Biden ini, LSM anti sawit akan semakin sawit agresif," beber dia.
Butuh Kekompakan dan Nasionalisme dalam Negeri
Tofan menjelaskan isu sawit yang dibawa LSM trans nasional perlu diwaspadai karena dapat menjadi bahan kampanye LSM di dalam negeri. Itu sebabnya, semangat nasionalisme LSM di Indonesia jangan sampai luntur. "Sebaiknya, mereka tidak serta merta menelan informasi negatif dari negara maju. Terutama dari LSM negara maju yang memang didanai khusus untuk menekan kelapa sawit,” jelas dia.
Dari situasi ini, kata Tofan, para pihak terkait di dalam negeri harus kompak. Sebab, ancaman terhadap sawit tidak bisa dihadapi sendiri oleh pelaku industri. Butuh dukungan dan kerjasama semua pihak untuk membendung isu negatif.
Tofan mengatakan perusahaan sawit yang tergabung dalam GAPKI telah maksimal dalam rangka menyakinkan stakeholder lain terutama di luar negeri supaya mendukung minyak sawit. “Kita tidak bisa sendiri. Perlu dukungan dari pemerintah mensinergikan program kampanye sawit supaya lebih efektif dan tepat sasaran,” ujar Tofan.
"Jika kita sudah kompak, sebetulnya kita tidak terlalu khawatir. Uni Eropa adalah pasar nomor tiga, memang besar tapi kita juga punya pasar China, India, Pakistan, dan Afrika yang merupakan pasar strategis yang harus dioptimalkan," jelas dia.
Kendati begitu, kata Tofan, jika dalam perkembangannya diskriminasi sawit Indonesia makin kuat di Eropa. Maka, Indonesia harus mengambil sikap tegas dalam persoalan tersebut.
"Jika mereka tidak membeli sawit maka produsen makanan akan kelimpungan, jadi tidak mungkin mereka tidak membeli sawit. Kalau kita lihat skala ekonominya, karena sawit sangat produktif secara alami tidak mungkin dapat dikalahkan minyak nabati lainnya, seperti minyak canola dan bunga matahari," terang dia.
Ia mengatakan kegiatan promosi sawit telah berjalan baik melalui lembaga pemerintah seperti BPDPKS. Kampanya positif perlu menggandeng Kementerian lain seperti Kementerian Kominfo, Kementerian Ristek Dikti serta Kementerian Pendidikan dan kebudayaan.
“Sawit telah menjadi komoditas strategis dan penyeimbang neraca dagang. Kemampuan ini perlu dipertahankan supaya daya saing maupun kontribusinya tetap terjaga,” tandas dia.