JAKARTA, GLOBALPLANET.news - “Integrator memiliki kekuatan modal dan teknologi, sementara peternak rakyat atau mandiri modalnya lemah. Produk keduanya berupa live bird atau ayam hidup, bertemu di pasar tradisional. Tentu mereka tergerus dalam persaingan bisnis, bahkan kini mereka hanya menguasai 20 persen pasar ayam hidup,” ujar Budhy Setiawan.
Menurut Budhy, persoalan tersebut hanya terjadi di hilir. Sementara di hulu, terdapat masalah pakan dan bibit ayam (DOC). Saat ini misalnya, jagung bagi peternak langka dan harganya naik tinggi, “Harga produksi jagung itu hanya Rp2.500-3.000 per kg, di pasaran bisa mencapai Rp5.900 karena langka. Sementara Kementerian Pertanian (Kementan) enggan impor dengan dalih bisa memproduksi sendiri,” ujar Budhy.
Menurutnya, untuk mengatasi kelangkaan jagung untuk peternakan, Kementan mengizinkan koperasi-koperasi untuk mengimpor jagung, “Impor ini jelas, digunakan untuk kebutuhan peternak rakyat,” imbuhnya. Pasalnya, jagung menyumbang 50 persen komponen pakan, yang sangat mempengaruhi kualitas produk terutama untuk ayam petelur.
Menurutnya, nasib peternak rakyat tak menentu karena Kementan tidak menjalankan dengan baik aturan yang sudah bagus, “Meminjam bahasa para peternak rakyat, pemerintah tidak membela nasib mereka. Terutama ketika, integrator masuk ke bidang budidaya dan produknya masuk ke pasar tradisional, tentu peternak rakyat kalah bersaing,” papar Budhy yang juga politis Golkar.
Integrator dengan dukungan modal yang besar dan teknologi yang modern, seharusnya tidak mengambil pasar yang secara tradisional sudah digarap peternak rakyat, “Jangan bersaing di pasar tradisional, produk integrator bisa masuk ke pasar ekspor, pasar retail modern, hotel, restoran, hingga katering besar,” sarannya. Ia juga meminta Kementerian Perdagangan, mengatur segmentasi pasar agar tak terjadi yang kuat memangsa yang lemah.
Paradigma persaingan juga seharusnya diubah oleh para integrator, menjadi paradigma kerja sama, “Usaha integrator yang utama adalah pakan dan DOC, jangan hanya diperuntukkan kepada peternak binaannya, tapi juga memberi akses sarana produksi kepada peternak rakyat,” ujarnya.
Untuk mengatasi persoalan hulu hingga hilir, industri perunggasan harus diatur pada tingkat Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian, “Kemendag tidak menegakkan aturan mengenai harga ayam hidup, sementara Kementan tak mampu menyediakan jagung dan mengatasi harga DOC yang melambung, untuk itu Kemenko Perekonomian perlu turun tangan,” tegasnya.
Jangan sampai, sarana produksi (Saprodi) hanya dinikmati oleh para peternak yang berafiliasi dengan integrator, sementara peternak rakyat atau mandiri mengalami kesulitan atau kemunduran dalam berbisnis. Bila, masalah hulu dan hilir ditangani Menko Perekonomian, bisa terjadi sinergi antara Kementan dan Kemendag, yang menguntungkan semua pihak.
Senada dengan Budhy Setiawan, Ketua Harian Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Sigit Prabowo mengatakan, karakter industri perunggasan di Indonesia berbentuk struktural dualistik.
“Ada integrasi usaha padat modal yang kuat dan modern dan ada pelaku usaha rakyat yang lemah dan tradisional. Negara seharusnya wajib hadir menata dan mengatur dengan baik, agar perunggasan kita betul-betul punya daya saing yang kuat,” ujarnya.
Ia melihat selama ini kuota bibit ayam (DOC) Grand Parents Stock (GPS), tak bisa diselesaikan pada tingkat hilir, sehingga kerap terjadi overstock dan harga ayam hidup jatuh di pasar tradisional, “Penyelesainnya hanya dengan cutting, selain itu serapan ayam hidup hanya mengandalkan broker,” keluh Sigit dalam diskusi yang diadakan Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi Pataka, pada Selasa (24/8).
Menurutnya kebijakan cutting yang dilakukan industri hulu, hanya membantu agar harga DOC tidak jatuh. Tapi efeknya berantainya adalah harga DOC naik pada tingkat peternak rakyat, dan barangnya pun langka, “Peternak rakyat atau mandir langsung teriak, karena DOC langka dan mahal,” ungkapnya.
Ia menyarankan pemerintah mengatur agar breeding farm, saat terjadi cutting, mereka wajib memproteksi peternak rakyat yang menjadi langganannya, “Mereka harus mampu menyediakan DOC bagi peternak rakyat, bukan hanya pada afiliasinya saja. Industri hulu wajib melindungi dan membina peternak mandiri yang jadi pelanggannya, bukan ikut membinasakannya,” imbuh Sigit.
Bila industri hulu mampu melindungi peternak rakyat, mereka bisa tetap hidup dan mampu membayar utang pakan dan DOC kepada industri hulu. Menurut Sigit, nasib peternak rakyat saat ini seperti pelanduk yang dihimpit dua gajah. Satu gajah adalah industri yang didukung undang-undang, dan gjah lainnya adalah bandar atau cukong ayam.