JAKARTA, GLOBALPLANET - Massa unjuk rasa dari berbagai elemen memperingati Hari Tani Nasional (HTN) di depan kompleks DPR membawa sejumlah tuntutan terkait reforma agraria yang dinilai belum berpihak kepada masyarakat kecil.
Koordinator Umum Aksi HTN sekaligus Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengkritik sikap abai pemerintah terhadap agenda reforma agraria. Menurut Dewi, pemerintah bahkan telah menghapus sendi-sendi demokrasi dengan mengancam kebebasan petani untuk berserikat.
"Pemerintahan ini telah mengkhianati reformasi yang susah payah dibangun oleh darah dan keringat rakyat pada tahun 1998," kata Dewi dalam keterangannya terkait aksi di DPR, Selasa (24/9).
Pada kesempatan itu, Dewi menilai pemerintah dalam 10 tahun terakhir telah melakukan 18 kejahatan sistemik terhadap agenda reforma agraria. Kejahatan itu membuat negara kian tenggelam dalam darurat reforma agraria.
Daftar kejahatan itu di antaranya, pemerintah dinilai telah menyesatkan dan membohongi publik bahwa mereka telah menjalankan reforma agraria seluas 9 juta hektare.
Padahal, kata Dewi, pemerintahan ini hanya menjalankan sertifikasi tanah tanpa menjalankan redistribusi tanah kepada rakyat dan menuntaskan konflik-konflik agraria.
"Sekadar pensertifikatan tanah bukanlah reforma agraria. Sertifikasi hanyalah layanan kepada orang yang sudah bertanah, bukan layanan kepada rakyat yang tidak bertanah," kata dia.
Presiden Joko Widodo dinilai juga telah melanggar UUPA dan melawan Putusan MK No. 21-22/PUU-V/2007 yang melarang pemberian HGU selama 90 tahun dan HGB selama 80 tahun.
Faktanya, pemerintah kini justru melipatgandakan pemberian hak atas tanah kepada pengusaha menjadi 190 tahun untuk HGU dan 160 tahun untuk HGB di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Presiden Jokowi telah kerap menjadikan proyek pembangunan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti proyek energi, infrastruktur, pangan (proyek food estate), pabrik, kawasan niaga dan real estate milik korporasi. Dengan label PSN, Presiden melahirkan keputusan yang berujung pada perampasan dan penggusuran tanah, hingga kriminalisasi rakyat.
Faktanya per Juli 2024, kata Dewi, perampasan tanah rakyat demi PSN di 134 lokasi telah mencapai 571 ribu hektare, dan 1,86 juta hektare di 11 provinsi demi proyek food estate.
Dari daftar kelalaian pemerintah itu, sejumlah organisasi yang terlibat dalam aksi peringatan HTN menyampaikan 10 Tuntutan untuk mengatasi Darurat Agraria dan Darurat Demokrasi kepada Pemerintahan Prabowo ke depan:
1. Menjalankan Reforma Agraria Sejati sesuai dengan UUD 1945 dan UUPA 1960 dengan
melakukan redistribusi tanah kepada petani gurem, buruh tani dan perempuan petani, serta
menyelesaikan seluruh konflik agraria struktural sebagai proses pemulihan hak-hak korban perampasan tanah dan penggusuran, selanjutnya Negara menjamin ketersediaan modal, pendidikan, teknologi tepat guna, benih, pupuk, infrastruktur pertanian dan pasar yang nerkeadilan.
2. Melakukan reformasi kelembagaan untuk mendukung RA dengan menyatukan fungsi planologi kehutanan, tata ruang, geospasial dan pengadministrasian hak atas tanah baik di darat maupun
pesisir dan pulau-pulau kecil, dalam satu kementerian yang mengurus agraria-pertanahan.
Sebagai pelaksana RA Presiden harus membentuk Dewan Pertimbangan Reforma Agraria Nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden, dengan pelibatan Organisasi Rakyat. Lembaga ini penting untuk memastikan bahwa RA benar-benar dijalankan sesuai tujuannya.
3. Mencabut regulasi anti petani dan rakyat, yakni UU Cipta Kerja dan produk hukum turunannya yang terkait dengan Bank Tanah, Food Estate, PSN, IKN, KEK, KSPN, HPL, forest amnesty,
KHDPK, dll., serta menghentikan segala jenis kejahatan agraria yang telah berlangsung,
sehingga ke depan konstitusi dapat diselamatkan, demokrasi ditegakkan, dan reforma agraria sejati dapat diwujudkan;
4. Menyusun dan mengesahkan RUU Reforma Agraria serta RUU Masyarakat Adat sebagai
penguat cita-cita UUPA, sekaligus landasan hukum bagi pelaksanaan redistribusi tanah,
penyelesaian konflik agraria, pengakuan wilayah adat, perombakan monopoli tanah, dan pembangunan pertanian, pangan serta pedesaan dalam kerangka Reforma Agraria.
5. Mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang, korupsi agraria dan mafia tanah serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses perumusan regulasi yang koruptif dan manipulatif yang berorientasi pada kepentingan bisnis dan PSN, yang telah merampas demokrasi, kebebasan,
hak hidup dan hak atas tanah rakyat.
6. Menghentikan dan menghukum berat praktik para mafia impor pangan yang telah
menghancurkan sendi-sendi produksi petani, nelayan, peternak dan petambak garam, serta
melemahkan pemenuhan hak atas pangan bahkan kedaulatan pangan.
7. Membubarkan Badan Bank Tanah yang telah merampas tanah-tanah petani dan masyarakat
adat dan telah membajak serta menyelewengkan tanah objek reforma agraria bagi rakyat, menjadi objek pengadaan tanah bagi para pengusaha.
8. Membebaskan Petani, Masyarakat Adat, Nelayan, Perempuan, Kaum Miskin Perkotaan dan Aktivis Agraria yang dipenjara serta dikriminalisasi karena memperjuangkan hak atas tanah, sekaligus menghentikan cara-cara kekerasan dan otoriter dalam penanganan konflik agraria.
9. Melindungi wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan wilayah tangkap nelayan dari ancaman
investasi yang merampas dan merusak lingkungan, demi keberlangsungan hidup kaum nelayan sebagai penghasil pangan khususnya ikan bagi segenap rakyat.
10. Menghentikan food estate dan mengedepankan pembangunan pedesaan berbasiskan, pertanian
pangan alami dan ekologis, peternakan dan perikanan yang berpusat pada kepentingan rakyat dalam kerangka RA Sejati, dimana pusat-pusat produksi dan industri milik petani dan nelayan dapat berkembang, saling terhubung dengan proses industrialisasi nasional yang
mensejahterakan kaum buruh, sehingga hubungan desa-kota saling memperkuat.