Ada - sejumlah pesan artikel “Tantangan Pasar Kerja Masa Depan Indonesia” yang ditulis Shinta Widjaja Kamdani (Kompas.id 26 Januari 2023). Salah satu pesan itu adalah "kolaborasi".
Kolaborasi menjadi kata paling populer secara global. Mungkin sedikit kalah dari sustainability dan climate change. Kolaborasi menjadi keharusan di zaman yang sangat disruptif dan berkejaran dengan banyak agenda. Fakta sejarah peradaban juga berkata demikian. Sejarawan Yuval Harari mengatakan bahwa manusia (human sapiens) bertahan dan menjadi penguasa bumi berkat kemampuan bekerjasama.
Keberlanjutan selain popular, bahkan sejenis agama baru yang paling banyak pengikutnya. Setidaknya sejak tahun 2015, diyakini oleh 193 negara dan disepakati 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs (Sustainable Development Goals). Tujuan No 17, menyebutkan partnership (kolaborasi) jadi salah satu kunci untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Dalam konteks hubungan industrial dikenal tripartit (tripartite): pemerintah, pekerja (serikat) dan pengusaha. Hubungan tripatit yang sehat dan produktif menjadi kunci dunia usaha dan industri yang berdaya saing dan sumber kesejahteraan bersama. Hubungan ini hanya dapat dibangun melalui dialog sosial serta kolaborasi yang sehat pula.
Untuk menjawab agenda keberlanjutan, sangat dibutuhkan kolaborasi tripartit dengan bentuk dan cara yang relevan dengan zaman ini. Setiap anggota tripartit memiliki tujuan dan prioritas masing-masing sesuai peran dan fungsinya. Untuk itu harus dirumuskan titik temu bersama (common goal). Dan agenda “keberlanjutan” adalah salah satu common goal itu.
Pembangunan berkelanjutan adalah amanat konsitusi sesuai pasal 33 ayat 4 UUD 1945. Untuk menjawab kelapa sawit berkelanjutan, pemerintah mengeluarkan regulasi dan instrumen sertifikasi khusus yakni ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil). Salah satu prinsip dan kriteria-nya adalah Tanggung Jawab Ketenagakerjaan. ISPO ini bersifat wajib (mandatory) bagi semua pekebun sawit: perusahaan hingga petani.
Hal yang sama, pelaku industri kelapa sawit global memiliki inisiatif sertifikasi keberlanjutan RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil). Keberlanjutan aspek ketenagakerjaan menjadi salah satu prinsip dan kriteria-nya. Walau bersifat sukarela, sertifikasi ini menjadi hukum pasar yang efektif. Dan secara de facto menjadi mandatori juga. Beberapa pasar dan negara bahkan menolak minyak sawit yang tidak tersertifikasi RSPO.
Bagaimana dengan serikat buruh? Sama saja. Keberlanjutan juga menjadi tujuan dan standar yang ingin mereka perjuangkan. Secara global, ILO menggunakan istilah decent work atau kerja layak. Kemudian masuk dalam Tujuan No 8 SDGs Kerja Layak dan Pertumbuhan Ekonomi.
Jelas, sudah ada common goal triparit. Tantangan selanjutnya membangun kolaborasi berkelanjutan. Oleh karena itu dibutuhkan serikat buruh yang representatif dan mengutamakan dialog sosial. Fakta keberadaan serikat buruh tampil dengan beragam rupa. Dari citra positif hingga negatif. Secara global, penelitian Profesor Harvard Margaret Levi, di sektor swasta (private sector) kini hanya 6% yang menjadi anggota serikat buruh. Turun dari 33% pada tahun 1950an. Ditemukan juga tidak sedikit memiliki tatakelola organisasi yang buruk.
Bagaimana dengan serikat buruh di Indonesia? Tidak jauh berbeda, data kemenaker melaporkan, hanya 12% buruh yang menjadi anggota serikat. Jumlah serikat buruh juga menurun. Selama era reformasi, pernah tercatat 14.000 serikat buruh (2007). Kini tercatat 7.000 serikat buruh saja (2017). Walau menurun secara jumlah, berhubungan dengan sejumlah serikat buruh memiliki tantangan sendiri. Alam demokrasi membuka ruang kebebasan dan agenda yang beragam dari serikat buruh. Pendekatan cara membangun hubungan penuh warna dan dinamika. Kita menghargai serikat buruh yang mengutamakan dialog sosial. Dialog sosial yang sehat adalah gerbang menyelesaikan aspek keberlajutan dan banyak hal lainnya. Namun tidak sedikit serikat buruh yang lebih memilih di luar dialog sosial.
Jaringan Ketenagakerjaan Sawit Berkelanjutan
Indonesia semakin tergantung dengan kelapa sawit dalam ragam aspek. Secara ekonomi, devisa ekspor kelapa sawit menjadi penopang utama neraca perdagangan. Tahun 2022, tercatat devisa ekspor sawit sebesar 39.28 miliar dollar. Naik 12.2% dari tahun 2021 (35 miliar dollar). Melibatkan 16 juta pekerja dari hulu hilir. Praktik ketenagakerjaan kerap mendapat sorotan. Bahkan kerap dijadikan sebagai alat diskriminasi dan kampanye negatif. Framing negatif berpotensi merugikan sawit nasional. Upaya counter campaign dan implementasi praktek baik (best practices) harus dilakukan dengan energi yang sama.
Oleh karena itu sejalan dengan triparit, kolaborasi bipartit harus juga dikembangkan. Kini pengusaha dan serikat buruh kelapa sawit terus membangun dialog sosial sebagai fundasi mewujudkan sawit berkelanjutan. Dengan dukungan ILO (International Labour Organisation) tahun 2018, dibentuk jejaring serikat buruh kelapa sawit. Ada 10 federasi sepakat membangun jejaring bernama JAPBUSI (Jejaring Pekerja dan Buruh Sawit Indonesia). Jejaring ini menjadi representasi buruh sawit membangun hubungan bipartit dan kolaborasi dengan organisasi pengusaha sawit, GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia).
Melalui dialog sosial yang teratur, sejumlah kemajuan dicapai secara kolaboratif. Melakukan pelatihan dan mendorong peningkatan kapasitas serikat buruh. Mempromosikan praktek kerja layak. Mereplikasi praktek baik atau best practices ketenagakerjaan yang sudah banyak dilakukan korporasi. Praktek baik ini harus menjadi praktek baik industri secara keseluruhan yang diadopsi semua pekebun termasuk petani.
Diyakini, praktik dan tujuan sawit berkelanjutan akan lebih mudah dan cepat dicapai melalui kolaborasi bipartit dan tripartit. Bahkan serikat buruh harus aktif dan menjadi aktor advokasi dalam melakukan kampanye positif atau counter campaign untuk melawan kampanye negatif yang terus menerpa dan mengancam masa depan sawit Indonesia. Karena masa depan sawit adalah masa depan buruh. Pada saat yang sama dapat menjawab tulisan Tantangan Pasar Kerja Masa Depan Indonesia.