Menurut Ita, perguruan tinggi juga harus dapat memberikan dukungan kepada para mahasiswa pegiat media sosial. “Misalnya dengan memberikan dukungan moril seperti pelatihan dan pembinaan. Atau dukungan materil seperti pemberian beasiswa,” ujar Ita.
Jihan Duhita Naflah, internal influencer dari Program Studi Ekonomi Universitas Pertamina, mengungkapkan, selain menjadi sarana untuk aktualisasi diri, media sosial juga idealnya menjadi tempat untuk meluruskan informasi yang keliru. “Misalnya ketika ada berita-berita viral di media sosial yang berpotensi pada misleading information, kita harus bisa mengcounter dengan fakta dan riset mendalam sehingga bisa meminimalisir hoax,” pungkas mahasiswi yang kini memiliki hampir dua ribu subscriber di kanal Youtube tersebut.
Adapun untuk konten terkait review produk, menurut Jihan, influencer harus bisa bersikap profesional. “Mendapatkan banyak endorse dari merek dan brand ternama tentu saja penting bagi seorang influencer. Tandanya, eksistensi dan kredibilitasnya diakui. Namun, yang juga tak kalah penting adalah menjaga kepercayaan audiens melalui orisinalitas konten dan review yang jujur,” terang mahasiswi dengan nama akun YouTube JiChan tersebut.
Sejatinya peran para influencer dalam diseminasi informasi yang bijak masih sangat dibutuhkan publik. Buktinya, dalam survei Morning Consult, bertajuk ‘The Influencer Report’, sebanyak 52 persen Gen Z dan 50 persen milenial mengatakan percaya bahwa influencer memberikan nasihat yang baik tentang merek dan produk yang mereka promosikan. Karenanya, penting bagi seorang influencer untuk senantiasa memproduksi konten positif yang berkualitas.