JAKARTA, GLOBALPLANET - Pengembangan program implementasiBahan Bakar Nabati (BBN) tersebut terus dilakukan mengingat kebutuhan energi semakin meningkat, sedangkan ketersediaan bahan bakar fosil yang biasa digunakan sangat terbatas dan menguras devisa negara.
Direktur Bioenergi, Dirjen EBTKE, Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna mengatakan, “Program implementasi BBN sebenarnya sudah sejak lama, namun baru booming di akhir-akhir ini. Kalau kita melihat ke belakang, Indonesia sudah mulai menjadi pengimpor bahan bakar sejak tahun 2004 dan apabila kita melihat tren impornya semakin meningkat," ujar seperti dikutip nasionalisme dari wartaekonomi.
Pertanyaan atas permasalahan impor bahan bakar fosil tersebut sudah terjawab sejak diimplementasikannya B30 pada awal Januari 2020 lalu. B30 merupakan campuran 30 persen minyak sawit berupa FAME (fatty acid methyl ester) dengan 70 persen solar dan dapat diaplikasikan pada mesin/motor diesel.
Tabel impor bahan bakar fosil dari tahun 2008 hingga 2028 menunjukkan tren peningkatan, namun dengan implementasi BBN tersebut maka kebutuhan Indonesia terhadap bahan bakar fosil akan semakin berkurang.
Berdasarkan data Kementerian ESDMdiketahui bahwa produksi biodiesel berbasis minyak sawit nasional pada tahun 2016, 2017, 2018, dan 2019 berturut-turut adalah sebesar 3,65 juta kiloliter; 3,41 juta kiloliter; 6,16 juta kiloliter; dan 8,37 juta kiloliter.
Sedangkan untuk tahun 2020 ini, sudah disiapkan 9,6 juta kiloliter FAME untuk campuran produksi biodiesel dalam negeri.
Saat ini, pemerintah tengah menargetkan implementasi B40 pada Juli 2021. Tidak hanya itu, PT Pertamina (Persero) juga akan mulai melakukan uji coba B100 di Kilang Cilacap pada 2021 mendatang.
Pemerintah berharap pengembangan BBN berbasis minyak sawit ini akan terus memberikan manfaat ekonomi bagi banyak sektor dan tentunya bagi petani atau masyarakat pelaku usaha perkebunan kelapa sawit itu sendiri.
Adapun manfaat program biodiesel berbasis sawit yang telah diterapkan yakni pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan kualitas lingkungan, penghematan devisa negara, peningkatan jumlah tenaga kerja (petani sawit), peningkatan nilai tambah CPO menjadi biodiesel, serta peningkatan konsumsi domestik minyak sawit.