“Menyeimbangkan kepentingan konsumen migor dengan kepentingan produsen bahan baku minyak goreng yakni TBS (khususnya petani sawit). menjaga kepentingan domestik dan ekspor. Bahasa mudahnya petani, konsumen, industri sawit dan pemerintah sama sama happy atau win-win condition. Harga TBS petani menguntungkan untuk mengikuti harga CPO dunia yang lagi naik, affordability, dan availability migor bagi konsumen domestik terjamin,” kata Tungkot.
Tungkot menguraikan terjemahan win-win condition ini dalam kebijakan secara teori ekonomi tidak sulit. Hilangkan semua hambatan ekspor sawit termasuk DMO (domestic market obligation) dan DPO (domestic price obligation) kecuali bea keluar (duty) dan pungutan (levy) sehingga ekspor lancar. Dampak positifnya adalah harga TBS petani kembali meningkat.
“Duty dan levy itu berfungsi sebagai “ pagar luar” agar tidak semua minyak sawit ( termasuk bahan baku migor) lari ke pasar dunia. Sebagian akan tetap ada di dalam negeri dan harganya juga lebih rendah dari harga dunia, sehingga affordable dan available di dalam negeri. Ini telah terbukti ampuh sebelum Januari 2022,” urai Doktor Lulusan IPB University ini.
Ia mengatakan sebenarnya mudah saja jika pemerintah ingin menjamin ketersediaan pasokan dan harga lebih murah minyak goreng kemasan sederhana di dalam negeri. Pemerintah tugaskan Bulog dan BUMN pangan untuk misi tersebut yang dibiayai oleh dana sawit ( pungutan) atau dana BPDPKS.
“Skema seperti ini kita pernah relatif sukses tahun 1970-1990. Dengan cara tersebut semua happy dan tak gaduh. Masyarakat happy dengan ketersediaan migor dan harga yang lebih murah (dibandingkan di negara lain), petani sawit dan keluarganya juga happy karena harga TBS sawit kembali bergairah. Pemerintah dapat penerimaan duty dan levy serta senang melihat rakyatnya tersenyum, devisa makin naik menyehatkan neraca perdagangan, dan pemilu 2024 pun sukses,” pungkasnya.