Persoalan utama, sebagai ruang publik, media sosial sangat demokratis sekaligus sangat liberal. Sementara pada sisi lain, kontrol dari pemerintah berupa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Di lain sisi ada pembatasan kebebasan berekspresi yang menurunkan kualitas demokrasi, namun di sisi lain bila tidak dikontrol akan membahayakan keutuhan bangsa,” pungkas Rulli.
Bagaimana solusinya? Rulli menyatakan tidak harus meniru Barat dalam membangun ruang publik yang kontributif. Menurutnya kebebasan berekspresi di Amerika Serikat dan Eropa kini diuji dengan ketidakpuasan. “Problem ketidakterwakilan pemilih oleh wakil rakyat di negara-negara maju, menyebabkan gerakan 99 persen di Amerika dan Prancis, akibatnya kerusuhan menjadi-jadi,” paparnya.
Kerusuhan di jalanan New York dan Paris, dikendalikan melalui media sosial di mana hujatan-hujatan dalam bungkus kebebasan berbicara dan berekspresi membuat kekerasan terjadi. “Pada titik ekstrem, Facebook terbukti dijadikan alat koordinasi dalam perang sipil di Suriah dan kudeta di Mesir,” tegas Rulli.
Menurut, Rulli kesadaran seluruh rakyat Indonesia dalam mengisi media sosial mereka dengan sikap kritis yang mengedukasi menjadi sangat penting.
“Jangan memaknai kritik tersebut sebagai kubu-kubuan, bermusuhan, berseberangan, dan oposan. Mereka yang netral dan kritis bila terus menerus dirundung atau di-bully, akhirnya bakal diam. Bila mereka diam, siapa yang rugi?,” tutur Rulli.