Aheng, pengusaha UMKM kuliner di Palembang bahkan sudah duluan meradang. "Om Saragih, tolong sampaikan ke pemerintah. Kami rela beli migor dengan harga pasar. Yang penting tersedia di toko. Usaha kami sudah terganggu gara-gara migor," demikian keluhnya. Korban migor memang sudah nyata.
Berdasarkan data produksi, tidak ada alasan migor kurang atau hilang. Petani dan buruh bekerja untuk hasilkan 47 juta ton minyak sawit (CPO). Kebutuhan migor dalam negeri "hanya" 6 juta ton. Kapasitas produksi pabrik migor nasional lebih dari 20 juta ton.
Harga CPO sudah Rp17.000 an. Petani memang lagi senang, tapi itu bukan rekayasa petani. Hukum pasar yang menentukan. Dampaknya harga migor juga naik signifikan. Dalam kondisi normal, harga migor pastilah di atas Rp17.000 an.
Harga yang demikian bisa membebani masyarakat. Keluhan masyarakat bawah dapat dimengerti, yang disayangkan pemerintah salah bikin resep. Aturan yang dibuat malah bikin sakit kian parah. Migor hilang, pasar dan distribusi jadi kacau balau. Semua saling tuding. Dari pakar hingga fakir, saling bermain. Politisi tak ketinggalan. Keberadaan migor jadi misteri.
Kita berharap pemerintah segera bertindak. Ganti dan perbaiki aturan yang ada. Jangan biarkan kekacauan ini berlarut. Fitnah dan saling tuding akan semakin liar. Dampaknya bisa bagai tsunami yang menyapu siapa saja. Bahkan 16 juta buruh pekerja dan 2 juta petani bisa ikut tersapu. UMKM sudah duluan terdampak. Tak terbayangkan bila tsunami itu terjadi. Semoga tidak. Salam sawit adalah kita.
Sumarjono Saragih
Chairman-Founder WISPO
Member TF Women in Business Action Council (WiBAC) B20