JAKARTA, GLOBALPLANET - Penerimaan EFTA terhadap produk kelapa sawit RI menunjukkan bahwa resistensi sebenarnya tidak dilakukan oleh semua negara Eropa. Bahkan di Uni Eropa hanya beberapa negara yang kebetulan punya pengaruh di parlemen yang menghambat perdagangan kelapa sawit Indonesia di kawasan tersebut.
“Empat negara tersebut, yaitu Liechtenstein, Swiss, Norwegia, dan Islandia menambah deretan negara-negara Eropa yang sebenarnya menerima kelapa sawit kita. Kalau kita bertemu dengan pemerintah maupun parlemen di banyak negara Eropa sebenarnya memang menunjukkan sambutan yang positif,” ujar Jerry Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) dalam keterangan resminya, Jumat, 7 Mei 2021.
Melihat kecenderungan itu, Jerry semakin optimistis dengan arah perjuangan Indonesia untuk menghapus diskriminasi ini. Pada intinya, sebut dia, negara-negara Uni Eropa harus melihat persoalan sawit dengan objektif dan proporsional. Sebab, kebutuhan minyak nabati semakin besar di dunia sehingga tidak semua sumber minyak nabati bisa memenuhi kebutuhan dengan efisien seperti kelapa sawit.
“Dilihat secara relatif dan obyektif, kalau kita menanam sumber minyak nabati lain seperti rapeseed, sebenarnya kebutuhan lahan dan dampak ekologisnya enam kali lebih besar dari kelapa sawit. Jadi secara ekologis dan ekonomi tidak efisien. Justru kelapa sawit menjadi solusi yang tepat untuk itu, papar Jerry.
Jerry menambahkan teknologi perkebunan, pemupukan, pengolahan air, pengolahan, dan berbagai hal yang berkaitan dengan industri kelapa sawit terus berkembang. Ini membuat kelapa sawit bakal semakin efisien secara ekologis. Selain itu, standarisasi produksi dan lingkungan kelapa sawit juga semakin ketat.
“Jadi sebenarnya produk kelapa sawit kita itu sudah melewati berbagai standarisasi dan penjaminan mutu produk serta dampaknya dalam berbagai sisi. Banyak sertifikasi yang harus dipenuhi, dan itu tidak mudah karena melibatkan berbagai lembaga yang kompeten,” tambahnya.
Untuk itu, ia berharap parlemen dan eksekutif Uni Eropa melihat dengan kerangka yang lebih luas, bukan hanya dalam perspektif persaingan dagang. Ia berharap kelapa sawit justru memicu inovasi baru untuk menghasilkan minyak nabati yang semakin baik dan murah.
Untuk diketahui, Indonesia saat ini sedang bersiap menghadapi sidang-sidang mengenai diskriminasi kelapa sawit oleh Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sidang kasus berkode DS 593 tersebut dihadapi optimistis oleh Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Perdagangan.