JAKARTA, GLOBALPLANET - Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo) Gulat Medali Emas Manurung mengungkapkan bahwa anjloknya harga Tandan Buah Segar Sawit (TBS) di tingkat petani bukan semata-mata karena larang ekspor Crude Palm Oil (CPO).
Menurut data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) bahwa ternyata, tahun lalu, dari 33,674 juta ton total ekspor minyak sawit, ekspor Crude Palm Oil (CPO) cuma 2,482 juta ton.
“Artinya, kalaupun presiden mengatakan stop ekspor CPO, enggak bakal ada ngaruhnya dengan pabrik-pabrik pengolahan Tandan Buah Segar (TBS). Pertanyaan yang kemudian muncul, kok tega-teganya Pabrik Kelapa Sawit (PKS) langsung membikin harga yang benar-benar mencekek petani?,” kata Gulat dikutip dari Gatra.
Gulat juga menyayangkan kinerja anak buah Presiden Jokowi yang semestinya tahu soal detil angka ekspor itu tak langsung bergegas menenangkan situasi di lapangan. Alhasil orang langsung mengidentikkan kalau stop ekspor CPO itu berarti mengurangi kebutuhan TBS dalam jumlah besar.
“Maka babak belurlah harga TBS petani. Harga TBS kami berkurang 60%, Bro! Nah, setelah babak belur, baru ada action, itupun cuma oleh Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) yang jabatannya cuma Pelaksana tugas (Plt) yang menyebut; bahwa yang dilarang eksport itu hanya RBD Palm Olein (bahan baku minyak goreng sawit) dan minyak goreng sawit (MGS), untuk CPO tidak ada larangan atau pembatasan eksport. Ini maksudnya apa?” ujarnya.
“Apa Dirjen ini enggak tahu bahwa sebenarnya orang sudah tak tertarik mengekspor CPO lagi lantaran Pungutan Ekspor (PE) yang begitu mahal; USD575 per ton?” tambahnya.
Tak berlebihan Gulat mengatakan babak belur lantaran dalam catatannya, sejak Presiden mengumumkan stop ekspor CPO, kerugian petani kelapa sawit sudah mencapai Rp11,7 triliun.