MALANG, GLOBALPLANET - Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak paling produktif dibanding minyak nabati lainnya. Sungguh perlakuan tidak adil jika menuduh perkebunan kelapa sawit sebagai pelaku utama deforestasi.
Hal ini terungkap dalam seminar bertajuk "Peluang dan Tantangan Sawit Sebagai Industri Strategis Penjaga Ketahanan Pangan dan Energi." Seminar ini diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Brawijaya, di Malang.
Seminar ini mnghadirkan nara sumber antara lain Abful Ghofar, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisinis Universitas Brawijaya; Firman Soebagyo, anggota Komisi IV DPR; Eddy Abdurrahman, Dirut Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit, yang diwakili Ahmad Maulizal Sutawijaya; dan Eddy Martono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
"Dari total areal untuk perkebunan tanaman penghasil minyak nabati, kelapa sawit hanya menggunakan 10% saja. Namun, produksi kepala sawit mencapai 39% dari total produksi minyak nabati dunia," ujar Abdul Ghofar.
Misalnya, hingga 2022, perkebunan kelapa sawit dunia seluas 24,259 juta Ha, sedangkan kedelai telah memanfaatkan lahan seluas 132,8 juta Ha. Ratio produksi minyak yang dihasilkan kelapa sawit sebesar 3,2 ton/Ha dibanding kedelai yang hanya 0,5 ton/Ha.
Dari data perbandingan tersebut, tidaklah adil jika menuduh perkebunan kelapa sawit sebagai pelaku utama deforestasi. Justru kelapa sawit bisa menjadi jawaban untuk mengurangi emisi karbon. Pohon sawit disebut-sebut mampu menyerap karbon maksimal dibandingkan pohon jenis lain.
Negara Perlu Menerbitkan UU Komoditas Strategis
Kelapa sawit semakin berperan penting dalam memastikan pemenuhan kebutuhan pangan dan energi. Kunci utama kedaulatan sebuah negara adalah ketersediaan pangan dan energi bagi rakyat dan bangsanya. Tanpa ada kepastian ketersediaan pangan dan energi, maka negara tersebut sangat tergantung pada negara lain dan rentan akan kedaulatannya.
Anggota Komisi IV DPR Firman Sobagyo menyatakan, kelapa sawit sebagai komoditas Indonesia unggulan dan penghasil devisa sebesar Rp600 triliun, sangat patut mendapatkan perhatian hukum melalui penerbitan Undang-Undang khusus komoditas strategis.
"Indonesia sangat perlu menerbitkan Undang-Undang tentang Komoditas Strategis sebagai upaya menjaga ketersediaan pangan dan energi sekaligus tulang punggung perekonomian nasional," katanya.
Firman melanjutkan, Indonesia patut meniru beberapa negara lain melindungi produk unggulan dan strategis mereka. Misalnya Turki memiliki UU perlindungan tembakau, Jepang untuk komoditas beras, Amerika Setikat melindungi komoditas kedelai, kapas, jagung dan gandum.
"Bahkan Malaysia justru telah lama memiliki lembaga khusus sebagai pengelola kelapa sawit secara komprehensif," katanya.