JAKARTA, GLOBALPLANET - Ketua Umum Keluarga Alumni Institut Pertanian (KAINSTIPER), Priyanto PS menerangkan, bahwa harga minyak sawit mentah (CPO) yang merangkak naik dipasar global, telah menyebabkan banyak distorsi (tekanan) diperkebunan kelapa sawit, seperti naiknya sarana dan prasarana produksi, dan Bahan Bakar Minyak (BBM), yang turut menaikkan biaya produksi CPO. Secara singkat, setiap adanya kenaikan harga CPO dunia, secara nyata turut menaikkan harga produksi CPO di Indonesia.
Alhasil, windfall profit (keuntungan lebih) yang didapatkan perkebunan kelapa sawit, juga harus diteruskan untuk membayar pupuk, BBM dan sarana produksi lainnya dengan harga yang mahal. Selain itu, sebagai pengolahan, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat, maka pembelian hasil panen (Tandan Buah Segar/TBS) milik petani, juga harus dibeli dengan harga yang lebih mahal atau disesuaikan dengan harga CPO global sesuai aturan Kementerian Pertanian melalui dinas perkebunan setempat.
“Jadi, tidak semua windfall profit yang didapatkan dari naiknya harga jual CPO, dinikmati perusahaan perkebunan kelapa sawit saja, melainkan akan terbagi-bagi disepanjang mata rantai produksi CPO,” paparnya dalam keterangan resmi dikutip dari InfoSAWIT, Rabu (11/5/2022).
Sebab itu, pemahaman akan bisnis CPO Indonesia harus dapat terdistribusi dengan baik di semua aparatur pemerintah yang mengurus sektor perdagangan minyak sawit. Adanya kenaikan harga dipasar global yang berpengaruh langsung terhadap kenaikan biaya produksi, juga berimbas terhadap kenaikan harga jual minyak goreng nasional. Pentingnya pemahaman jejaring bisnis CPO juga dibutuhkan, guna mengetahui berbagai sumbatan yang menghambat tersedianya pasokan minyak goreng hingga ke masyarakat luas.
Jejaring logistik pasar, dari pabrik minyak goreng, distributor, agen besar, agen kecil hingga warung-warung kecil dan Usaha Mikro Kecil & Menengah (UMKM) harus dapat terdata dan terpenuhi kebutuhannya dengan baik. Pasalnya, kebutuhan minyak goreng pada saat menjelang bulan puasa dan lebaran, mengalami eskalasi peningkatan yang tidaklah sedikit, akibat banyak pedagang makanan dadakan yang muncul ketika masa puasa. “Lonjakan kebutuhan minyak goreng nasional selalu meningkat besar, apabila mendekati bulan puasa dan lebaran,” terang Priyanto PS.
Jika lonjakan kebutuhan masyarakat luas, terutama pedagang dadakan dan UMKM bisa didata dengan lebih baik, maka ketersediaan minyak goreng rumah tangga akan dapat terpenuhi. Lantaran, produksi CPO berada didalam negeri dan akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas, kendati mengalami lonjakan kebutuhan yang tinggi.
“Dengan kapasitas terpasang pabrik minyak goreng dan pabrik CPO yang besar, kebutuhan minyak goreng domestik pasti bisa terpenuhi. Persoalan utamanya pada data kebutuhan pasar, mekanisme perdagangan dan harga jual domestik yang terjangkau, harus segera dibenahi pemerintah,”kata Priyanto PS menerangkan. (infoSawit)