loader

Dilema Digitalisasi : Mencari Keseimbangan Antara Manfaat dan Dampak Negatif

Foto

Terjadi fenomena demokratisasi baru melalui penggunaan media sosial yang luas, namun belum ada arah yang jelas dalam demokratisasi dan akuntabilitas yang inklusif. Media sosial cenderung menghasilkan informasi reaktif yang seringkali emosional, kurang komitmen mendalam, dan jauh dari proses deliberasi. Akibatnya, pemerintah cenderung bersikap reaktif dalam menanggapi isu-isu yang muncul.

Dalam konteks e-government, partisipasi masyarakat dalam pembuatan norma-norma sistem sangat minim. Selain itu, pengumpulan data melalui e-government belum didukung oleh mekanisme yang solid untuk memperbaiki birokrasi.

Ada anggapan bahwa individu lebih mudah mendapatkan informasi untuk membuat keputusan, namun terjadi keterlibatan yang berlebihan dalam pencarian melalui platform digital sehingga mengabaikan keterlibatan dan pengembangan komitmen di dunia nyata. 

Data menunjukkan bahwa orang Indonesia rata-rata menghabiskan lebih dari tiga jam sehari di media sosial, yang digunakan untuk mengisi waktu luang dan mengetahui apa yang sedang ramai dibicarakan.

Kondisi ini mengakibatkan hilangnya waktu untuk interaksi berkualitas, refleksi diri, peningkatan kapasitas, dan partisipasi dalam kegiatan sebagai warga negara yang baik. Saat ini, baik masyarakat umum maupun elit sosial dan politik lebih tertarik pada informasi praktis dan singkat tentang isu-isu yang terjadi dalam masyarakat, tanpa adanya pemikiran yang mendalam.

Untuk menghadapi persoalan-persoalan tersebut, sebagai sebuah bangsa yang ingin tetap relevan, perlu merumuskan kembali kompetensi hidup yang diperlukan dalam era digital. Visi yang jelas mengenai kompetensi individu, organisasi, dan institusi yang dibutuhkan perlu diangkat. Pemimpin publik juga harus memiliki kompetensi dalam memperbaiki lembaga-lembaga yang ada.

Para pemimpin politik dan pembuat kebijakan perlu menyadari dampak dari tiga fenomena digital di atas dan melibatkan pihak yang memiliki kompetensi dalam mengambil tindakan yang tepat. Dalam pengembangan e-government, aspek kesejahteraan inklusif harus diperhatikan, tidak hanya melibatkan ahli digital dan sistem data, tetapi juga memahami aspek sosial kesejahteraan dan transformasi sosial.

Pemerintah perlu mendorong integrasi sistem antarlembaga pemerintah, serta kerja sama antarberbagai pelaku ekonomi untuk mengembangkan ketahanan sosial ekonomi. Di tingkat lembaga nonpemerintah, diperlukan penguatan kerja sama antarorganisasi. 

Lembaga pendidikan juga perlu mengembangkan program-program yang memecahkan masalah sosial dan mengajak anak muda untuk kembali terlibat dalam dunia nyata yang membutuhkan moral kontekstual dan tindakan kolektif.

Dalam konteks ini, pengembangan big data dapat menjadi alat untuk membangun kesadaran kolektif dan akuntabilitas pejabat publik. Pengendalian kekuatan teknologi sangat penting dalam memanfaatkannya secara efektif.

Perubahan ini membutuhkan kolaborasi antara pemimpin yang mampu bekerja sama dengan ilmu pengetahuan dan pemangku kepentingan yang kompeten. Penting untuk mengembangkan model-model pengelolaan baru yang sesuai dengan tantangan dan perubahan yang dihadapi saat ini.

Selain itu, dalam pengembangan e-government, perlu memasukkan perspektif kesejahteraan inklusif dalam pembangunan sistem. Ini berarti melibatkan para ahli digital dan sistem data yang juga memahami aspek sosial kesejahteraan dan transformasi sosial.

Pemerintah juga harus mendorong integrasi sistem antara berbagai lembaga pemerintah dan menciptakan kemitraan baru antara pelaku ekonomi. Selain itu, inisiatif kewiraswastaan sosial dan upaya organisasi sosial perlu didorong untuk mengembangkan ketahanan sosial dan ekonomi.

 

Penulis: Andrian Sani

Mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang

 

 

Disclaimer: Artikel dan isi tanggung jawab penulis

 

 

Share

Ads