JAKARTA, GLOBALPLANET - Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Tofan Mahdi mengatakan pemerintah hendaknya memaksimalkan komoditas sawit dalam percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat Pandemi Covid-19.
Menurutnya, konflik Rusia-Ukraina memberi dampak signifikan terhadap pasar minyak nabati global. Akibat dari konflik tersebut, komoditas sawit dilirik sebagai salah satu produk minyak nabati global.
Hal ini diungkapkan Tofan saat menjadi pembicara Evaluasi 2022 and Proyeksi 2023: Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi Indonesia di Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (15/12). Hadir pembicara lain yaitu Ahli politik lingkungan internasional dari Universitas Paramadina, Ica Wulansari, dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Benni Yusriza. Sedangkan moderator acara ini adalah Anton Aliabbas, Kepala Centre for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE).
Dirinya menambahkan, setidaknya 70 persen dari produksi kelapa sawit terabsorpsi untuk pasar ekspor. Dan khusus untuk pasar kelapa sawit internasional, produksi sawit Indonesia dan Malaysia mendominasi 85 persen pasar tersebut. Sementara, keseriusan pemerintah dalam mendorong ekspor sawit masih butuh perbaikan.
Dirinya mengingatkan pemerintah untuk menyiapkan respon memadai terkait kebijakan baru Uni Eropa perihal pelarangan produk atau komoditas terkait ‘driver of deforestation’. Kebijakan ini diprediksi akan berdampak pada ekspor kopi, sawit dan kakao. Untuk diketahui, Uni Eropa merupakan pasar tujuan ekspor sawit Indonesia terbesar ketiga, setelah Tiongkok dan India.
Sementara itu, Ica Wulansari menjelaskan kebijakan food estate yang dilakukan pemerintah tidak selaras dengan kebutuhan warga setempat. Di sisi lain, dalam jangka panjang, kebijakan tersebut akan menjadikan lahan tidak subur dan gangguan keseimbangan ekosistem. “Karena itu, kebijakan food estate di tahun 2023 perlu mendapat peninjauan kembali untuk memitigasi kemungkinan efek negatif ini,” kata Sekretaris Program Sarjana Hubungan Internasional Universitas Paramadina ini.
Dirinya mengakui berlarutnya konflik Rusia-Ukraina telah menyebabkan krisis di sektor pangan semakin buruk. Keterlibatan Rusia yang merupakan produsen bahan aktif pupuk telah menjadikan harga pupuk global tidak terkendali dan naik mencapai 80%. Sementara, kebijakan subsidi pupuk di Indonesia masih minim evaluasi dan butuh perbaikan mendasar. Kompleksitas semakin bertambah dengan tidak jelasnya definisi terkait ketahanan pangan, kedaulatan pangan, keamanan pangan dan kemandirian pangan.
“Mau tidak mau, kapasitas adaptasi menghadapi perubahan iklim dalam kebijakan pangan nasional harus ditingkatkan,” tandas Ica.