JAKARTA, GLOBALPLANET.news - Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman, mengatakan, selama ini strategi yang dilakukan Indonesia dalam melawan kampanye hitam tersebut hanya bersifat defensif. Oleh karenanya, pemerintah akan lebih ofensif, yakni dengan memaparkan kekurangan dari minyak nabati lainnya.
"Strategi promosi ke depan kita tidak lagi defensif, tetapi juga harus ofensif. Kita permasalahkan juga minyak nabati lain di Eropa, misalnya rapeseed," kata Eddy dalam diskusi yang diselenggarakan oleh PWI secara virtual, Sabtu, dilansir dari ANTARANews.
Eddy menjelaskan bahwa tidak hanya minyak sawit, minyak nabati lain seperti rapeseed juga memiliki dampak terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity) dan lingkungan.
Dalam promosi sebelumnya, Indonesia dinilai tidak terlalu "menyerang" minyak nabati lain, namun hanya berfokus pada peran kelapa sawit terhadap ekonomi dan tingginya produktivitas komoditas tersebut dibandingkan minyak nabati lain.
"Kalau di sini dinyatakan bahwa sawit merusak 'biodiversity', kita juga akan mempermasalahkan bagaimana dengan rapeseed di Eropa, pemanfaatan fertilizer mereka yang berdampak bada biodiversity laut. Kita akan mengubah strategi, akanattack seperti yang disampaikan Presiden," kata Eddy.
Dalam paparannya, Eddy mengatakan bahwa industri sawit mampu menunjukkan kekuatannya dan menjadi salah satu dari sedikit industri besar nasional yang mampu bertahan di tengah pandemi COVID-19.
Salah satu faktor penting ketahanan pertumbuhan sektor sawit selama pandemi Covid-19 di dalam negeri adalah adanya program penggunaan energi terbarukan melalui mandatori biodiesel berbasis sawit.
Setelah sukses menjalankan program mandatori biodiesel 20 persen sejak 2016 sampai dengan 2019, pemerintah melanjutkan dengan program mandatori B30 sejak Januari 2020 yang menambah daya serap minyak sawit di pasar dalam negeri sekaligus mendorong stabilitas harga minyak sawit.