loader

Bakal Lapor ke KPK, SPKS Curigai Lembaga Surveyor

Foto

JAKARTA, GLOBALPLANET - Kecurigaan ini disampaikan Darto dalam sebuah diskusi tentang sawit yang digelar di Jakarta beberapa waktu lalu. 

Dari rilis yang disampaikan POPSI (persatuan organisasi petani sawit Indonesia) kepada globalplanet.news, Jumat (22/5/2020), disebutkan SPKS bahkan telah menyiapkan laporan investigasi untuk membongkar aib lembaga-lembaga surveyor itu. Untuk selanjutnya diberikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Darto mengakui, salah satu upaya untuk mempercepat peremajaan sawit rakyat (PSR) oleh Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) adalah penunjukkan surveyor dalam proses verifikasi. 

"Surveyor  mungkin nanti bisa lebih cepat (melakukan verifikasi) ketimbang pemerintah daerah (Pemda) tetapi bukan karena mereka lebih jago atau hebat dari petugas pemda dalam verifikasi," ujar Darto menyindir.

Masalahnya, kata Darto, para surveyor itu mendapat dana yang cukup. Sementara Pemda sebaliknya. "Contohnya untuk surveyor biodiesel dan ekspor, BPDPKS membayar Rp 130,77  miliar. Sedang untuk PSR karena baru akan dimulai belum tahu berapa biaya untuk surveyor," kata Darto.

Kata dia, dana untuk surveyor ini bahkan lebih besar dibanding untuk peningkatan SDM petani yang tidak mencapai Rp 17 miliar sejak tahun 2015 hingga saat ini. 

Pihaknya tahu kalau anggaran APBD untuk verifikasi minim. Kata Darto, banyak program seperti Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan (STDB) tidak berjalan karena Pemda tidak punya dana cukup. 

Untuk mengeluarkan STDB, kata Darto, butuh pemetaan. Namun Pemda tak punya dana untuk melakukannya. Selama ini banyak LSM yang sudah membantu Pemda dalam bidang ini. 

"SPKS sendiri membantu pemetaan di beberapa kabupaten," ujar Darto. Ia menyarankan BPDPKS mengalokasikan dana ke Pemda dan asosiasi pendamping petani yang siap kalau dilibatkan untuk verifikasi.

Sementara itu menurut Anwar Sunari selaku Direktur BPDPKS, salah satu bentuk percepatan PSR adalah verifikasi oleh surveyor. 

Kata dia, surveyor kebagian 75.000 ha sedang pemerintah 105.000. Saat ini yang harus dilakukan adalah mempercepat proses tanam. "Tahun lalu BPDPKS menjadi objek pemeriksaan BPK karena jumlah yang tertanam jauh di bawah dana yang sudah ditransfer," kata Anwar Sunari.

Dirjenbun Kasdi Subagyono menyatakan, luas areal kelapa sawit rakyat yang potensial untuk PSR adalah  2,78 juta ha. "Potensi paling banyak di Sumatera dan Kalimantan. Tiap tahun pemerintah mentargetkan peremajaan 180.000 ha," ujar Kasdi.

Sampai tahun 29 April 2020, kata Kasdi, rekomtek yang sudah diterbitkan untuk 157.358 ha dan tranfer dana untuk 108.123 ha tetapi yang lahan sudah tertanam sawit masih lebih kecil. 

Ia mengatakan, pemerintah sudah berusaha mempercepat dengan menyederhanakan persyaratan dari 14 jadi 8 dan sekarang tinggal 2 yaitu hanya kelembagaan dan legalitas lahan. 

"Verifikasi yang semula 3 tahap di kabupaten, provinsi dan pusat diubah menjadi satu kali oleh tim verifikasi pusat, provinsi dan kabupaten/kota," ujar Kasdi.

Ia menegaskan, sukses peremajaan adalah berapa ha tanaman yang ditanam, bukan besarnya  rekomtek atau transfer dana. 

Karena itu ia meminta agar jangan ada lagi petani sawit yang mengembalikan dana karena tidak bisa melaksanakan PSR. "Harus ada kemitraan dengan pihak lain yang membangun kebun," tegas Kasdi Subagyo.

Share

Ads