“Hilangnya potensi devisa yang cukup besar itu tentu bisa menekan nilai tukar rupiah. Secara makro, dampak kebijakan ini sudah bisa dilihat pada akhir bulan nanti,” katanya.
Keempat, kebijakan larangan ekspor CPO dan produk turunan telah melemahkan posisi Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Pasca-pemberlakuan larangan ekspor CPO Indonesia, Malaysia kini menjadi penguasa 84% ekspor CPO. Padahal, Malaysia sebelumnya hanya memiliki porsi sekitar 27% dari total produksi CPO dunia. Absennya Indonesia dari pasar CPO dunia jelas sebuah kerugian. Indonesia gagal memanfaatkan kenaikan harga komoditas CPO bagi kepentingan ekonomi nasional.
Kelima, kebijakan larangan ekspor itu terbukti gagal menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri. Harga minyak goreng rata-rata pada minggu kedua Mei ini masih berada di angka Rp24.500 per liter. Angka ini masih jauh lebih mahal dari tetapan harga eceran tertinggi yang dibuat pemerintah.
“Kegagalan ini hanya menguatkan kesimpulan bahwa kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri selama ini memang bukan karena persoalan stok, melainkan karena lemahnya penegakkan hukum. Ini sudah dibuktikan oleh Kejaksaan Agung yang telah menetapkan tersangka mafia minyak goreng,” katanya.