JAKARTA, GLOBALPLANET - Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon mendesak pemerintah segera merevisi kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya. Menurut dia, larangan ekspor bukan solusi, karena penyebab kelangkaan minyak nabati di dalam negeri bukan stoknya, melainkan masalah penegakan terkait kewajiban DMO (Domestic Market Obligation).
Fadli Zon mengatakan, setelah dua pekan lebih pemerintah memberlakukan larangan ekspor CPO dan produk turunannya, saat ini bisa dilihat bahwa kebijakan tersebut tidak didasarkan kajian yang matang.
“Selain gagal mencapai tujuannya, yaitu menurunkan harga minyak goreng eceran di dalam negeri, kebijakan tersebut kini terbukti malah mendatangkan lebih banyak lagi kerugian, baik terhadap neraca perdagangan, maupun terhadap petani sawit dan produsen CPO kita,” kata Fadli Zon dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa (17/5/2022).
Menurut Fadli Zon, ada beberapa alasan kebijakan larangan ekspor CPO tidak tepat.
Pertama, kebijakan larangan ekspor CPO berangkat dari diagnosa persoalan yang tak akurat. Sebagai gambaran, produksi CPO kita pada 2021 mencapai 46,88 juta ton, sementara konsumsi dalam negeri kita hanya 18,42 juta ton (39,29%). Di sisi lain, produksi minyak goreng sawit (MGS) pada 2021 sebesar 20,22 juta ton, sementara kebutuhan dalam negeri kita hanya 5,07 juta ton (25,07%). Jadi, kelebihan pasokan minyak sawit yang ada selama ini memang diserap oleh pasar ekspor, tidak mungkin diserap semua pasar domestik.
“Kalau pemerintah melarang ekspor CPO dan minyak goreng, lalu sisa produksinya mau dikemanakan?” katanya.
Alasan Kedua, kata Fadli Zon, kebijakan tersebut telah merugikan 3 juta petani sawit. Sejak kebijakan itu dirilis pada 28 April 2022, harga tandan buah segar (TBS) milik petani sawit terus merosot harganya. Penurunan harga TBS kelapa sawit ini, menurut catatan HKTI, terjadi di hampir seluruh wilayah. Di Sumatera Selatan, misalnya, harga TBS petani turun sekitar Rp500 per kilogram. Di Riau, penurunan harga TBS mencapai Rp1.000 per kilogram. Secara umum, penurunan harga TBS ini terjadi bervariasi antara Rp500 hingga Rp1.500 per kilogram.
Selain harganya terus turun, para petani sawit juga kini terancam tak bisa menjual hasil panennya, karena sejumlah pabrik kelapa sawit mulai menolak membeli TBS dari petani dan lebih menggunakan hasil kebun sendiri. Pabrikan memang mau tak mau harus mengurangi kapasitas produksi akibat larangan ekspor ini. “Kalau produknya tak bisa diserap pasar, bagaimana nasib jutaan petani sawit ini?” ujar politikus Partai Gerindra ini.
Ketiga, lanjut Fadli Zon, kebijakan larangan ekspor ini juga bisa merugikan kinerja perdagangan Indonesia. Larangan tersebut jelas menurunkan penerimaan devisa ekspor. Pada 2021, sumbangan devisa ekspor minyak sawit mencapai USD35 miliar, atau lebih dari Rp500 triliun. Selain devisa ekspor, ekspor minyak sawit juga memberikan sumbangan kepada kas negara dalam bentuk pajak ekspor (bea keluar) dan pendapatan dari pungutan ekspor.