Model Dialog Sosial Kelapa Sawit
Sawit Indonesia harus “iklas” menerima takdirnya. Indonesia penghasil minyak sawit nomor satu dunia dengan pangsa pasar 58%. Minyak sawit pun jadi “musuh” minyak nabati lain yang tumbuh di barat karena lebih murah dan produktif.
Secara nasional, menjadi motor ekonomi perdesaan-nasional yang melibatkan 16 juta lebih pekerja (manusia). Belum lagi petani yang menguasai 42% lahan kebun. Realitas yang serba jumbo ini membuat sawit Indonesia rentan dan mudah melihat kekurangannya. Kekurangan itu kemudian menjadi bahan perang dagang yang dibalut dengan isu sustainability.
Kita tidak menutup mata bahwa sawit masih memiliki pekerjaan rumah (deficit). Daftar deficit itu mudah dilihat di internet, yang dipublikasikan oleh ragam insitusi. Ada hasil monitoring pemerintah, studi organisasi resmi dunia, catatan organisasi pekerja hingga organisasi masyarakat sipil lokal dan global.
Menjadi pertanyaan, apa dan bagaimana kita merespons deficit tersebut. Sejalan dengan semangat yang berkembang di serikat pekerja, dialog sosial menjadi solusi efektif (Rekson Silaban, Opini Kompas 30 April 2022).
Semangat yang sama juga terus dibangun oleh organisasi pemberi kerja di kelapa sawit. GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) secara pro-aktif mempromosikan dan menginisiasi dialog sosial. Baik secara bipartit, tirpartit maupun triparit plus di semua tingkatan dan unit kerja.
Kesetaraan Gender (SDGs 5) dan Kerja Layak (SDGs 8), adalah dua contoh dari 17 Tujuan SDGs yang harus direspons secara kolaboratif. Pada saat yang sama, kedua agenda/tujuan ini juga menjadi deficit yang sering menjadi isu yang merugikan sawit Indonesia.
Sejak tahun 2016, berkat kerja sama dengan ILO, semangat dan praktek dialog sosial terus mengalami kemajuan. Cakupan isu yang dibahas juga berkembang. Bahkan sudah terbuka untuk isu yang dulu dianggap sensitif. Dialog sosial yang progresif berhasil membentuk satu jejaring atau forum dari beberapa organisasi pekerja. JAPBUSI (Jejaring Serikat Pekerja dan Serikat Buruh Sawit Seluruh Indonesia). GAPKI dan JAPBUSI kemudian menjadi representasi aktor utama dialog bipartite dalam industri sawit.
Keberadaan dan perjalanan JAPBUSI mendapat catatan menarik dari Dr George M Sirait, Akademisi UNIKA Atmajaya. Dalam Konsultasi ILO Lintas Pemangku Maret 2022, bahwa berdasarkan studinya, sulit mendapatkan jejaring serikat buruh yang berbeda tetapi mampu bertahan dan tetap berjejaring secara progresif lebih dari satu tahun. Untuk diketahui, jejaring ini melibatkan sejumlah federasi dan konfederasi buruh besar nasional. Memiliki sektor, situasi, kondisi dan dinamika sendiri di dalam internal federasi dan konfederasinya. Jejaring ini berdiri pada akhir tahun 2018 dan terus mengalami kemajuan hingga kini.
Jadi bukti bahwa dialog sosial yang progresif menjadi solusi. Dialog sosial di kelapa sawit pun akhirnya berbuah. Tahun 2021, diterbitkan “Panduan Praktis Perlindungan Hak Pekerja Perempuan di Sawit”. Disusun dan dipublikasikan secara bipartit: GAPKI dan Serikat Pekerja (Hukatan-CNV). Kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil juga sedang menyiapkan publikasi dengan topik beda.
Akhinya, deretan pekerjaan rumah sawit akan lebih mudah dituntaskan melalui dialog sosial berkelanjutan dan berkemajuan. Dengan demikian, kita bisa mewujudkan kelapa sawit Indonesia berkelanjutan sekaligus menunaikan agenda SDGs. Dialog sosial membutuhkan kebaruan paradigma, ketrampilan dan kapasitas aktor dialog serta kemampuan mobilisasi dan orkestrasi sehingga menjadi bagian dari proses bisnis sawit Indonesia. Dialog sosial dapat dijadikan ukuran kinerja (key performance indicator) para aktor dialog.
Sumarjono Saragih, Chairman-Founder WISPO (Worker Initiative for Sustainable Palm Oil)