JAKARTA , GLOBALPLANET - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) resmi memutuskan ada pelanggaran etik yang dilakukan oleh enam hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK terkait batas usia capres-cawapres.
Putusan itu dibacakan oleh Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie dalam sidang yang berlangsung di Gedung MK, hari ini, Selasa Sore (7/11).
"Memutuskan menyatakan para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik," ucap Jimly dalam putusannya.Adapun dalam perkara tersebut MKMK memutuskan untuk memberikan sanksi berupa teguran lisan secara kolektif.
Para hakim terlapor terbukti tidak dapat menjaga informasi rahasia dalam rapat permusyawatan hakim yang bersifat tertutup sehingga melanggar prinsip kepantasan.
Selanjutnya, praktik benturan kepentingan dianggap wajar karena hakim terlapor secara bersama sama membiarkan terjadinya praktik kode etik dan hakim konstitusi yang nyata tanpa kesungguhan saling mengingatkan antar hakim termasuk terhadap pimpinan karena budaya kerja yang ewuh pakewuh. Sehingga, kesetaraan hakim terabaikan dan praktik pelanggaran etika biasa terjadi.
"Dengan demikian, para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melanggar sapta karsa hutama, prinsip kepatasan dan kesopanan," terangnya.
Diketahui, putusan ini terkait dengan laporan yang dilaporkan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia (TAPHI), Advokat Pengawal Konstitusi, Perhimpunan Pemuda Madani dan Alamsyah Hanafiah.
Adapun keenam hakim terlapor yang masuk dalam putusan ini di antaranya adalah Manahan M.P Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahidudduin Adams, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dan M Guntur Hamzah.
Asal tahu saja, sidah ini merupakan buntut dari putusan MK mengabulkan sebagian perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 seseorang bernama Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah, pada Senin, 16 Oktober 2023.
Dalam gugatannya, Almas memohon syarat pencalonan peserta pilpres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Putusan itu menjadi kontroversi karena dinilai sarat konflik kepentingan. Laporan masyarakat yang menduga adanya pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara itu kemudian bermunculan.