JAKARTA, GLOBALPLANET - Industri sawit Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan di pasar ekspor. Di depan mata, menghadapi Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation/EUDR) yang 9 bulan lagi akan diimplementasikan. Bahkan, UU UEDR mulai menular ke pasar lain di luar Eropa seperti Pakistan dan Amerika.
Direktur Sinar Mas Agribusiness and Food Agus Purnomo menjelaskan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa atau EUDR segera diikuti oleh Amerika Serikat, Tiongkok hingga Pakistan.
“Di luar pasar tersebut, sebenarnya pasar lain pun sudah juga menggunakan persyaratan yang sama dengan EUDR, misalnya pembeli kami dari Pakistan, sudah menanyakan produk yang mematuhi EUDR. Yang bertanya itu produsen cokelat di Pakistan yang menjual cokelatnya ke Eropa,” ujar Agus dalam diskusi yang diselenggarakan WWF Indonesia di Jakarta, Selasa (19/3/2025).
Perusahaan sawit berbasis ekspor sejatinya cukup mudah menghadapi EUDR. Sebab, kata dia, perusahaan terbiasa mengekspor produknya sesuai ketentuan RSPO. Semua produk ekspornya berasal dari kebun inti yang sudah berlabel RSPO.
“Masalahnya kalau ada permintaan naik, mau tidak mau harus dari pasokan kebun rakyat. Sedangkan STDB yang terdata saja saat ini baru 3 persen dari 2,6 juta ha lahan. Ini tentu jadi tantangan,” ujar Agus.
Di samping masalah itu, dia juga mengaku pihaknya kebingungan siapa koordinator lintas kementerian yang menangani aspek negosiasi, persiapan dan berbagai hal terkait EUDR. “Apakah Kemenko Perekonomian atau Kemenko Pangan? Kata Kemenko di mereka sudah tidak ada. Kemenko Pangan hingga saat ini juga belum memanggil kami rapat,” ungkapya.
Agus juga menyampaikan, masalah lainnya yang menjadi pertanyaan adalah siapa lembaga pemerintah yang menentuan peta acuan lahan. Hingga saat, ujar dia, masih belum jelas siapa penanggungjawab hal tersebut.
Selain peta acuan, saat ini belum jelas siapa yang akan menyiapkan legalitas pekebun sawit. Menurutnya apakah Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian atau Kementerian ATR/BPN.
“Kan ada SHM, HGU, terus ada berbagai status hutan, hutan rakyat, hutan lindung, kalau di dalamnya ada komoditi pertanian, itu bisa langsung diberikan surat apakah secara administrasi itu mungkin?,” ujarnya.
Ada hambatan juga yang riil dalam menghadapi EUDR, lanjut Agus, terkait dua surat dari Dirjen di Kementan dan Menteri ATR yang melarang perusahaan berbagi ‘save files’ dari peta-peta konsesinya.
“Kalau larangan diberlakukan sangat ketat praktis berhenti jualan kita. Hilang dong penjualan 5 bilion dolar dari PE dan BK. Kita mencoba ulik, yang dilarang peta polygon, kalau koordinat bisa dong, saat ini tapi masih abu abu. Kalau peta izin, inti, HGU, SHM mungkin tidak boleh. Tapi kalau titik boleh dong, karena kita yang buat. Jadi ada kejelasan,” bebernya.
Sumber: Sawit Indonesia