HEMAT AIR PADA “DUNIA TANPA SAWIT”
Selain isu deforestasi, biodiversity, emisi karbon, polusi air/tanah, isu penggunaan air dalam proses produksi minyak nabati juga sering dikritisi masyarakat. Penggunaan air yang boros dinilai tidak ramah lingkungan.
Gerbens-Leenes et al. (2009) mengungkapkan bahwa tanaman penghasil bioenergi paling rakus air adalah rapeseed, disusul oleh kelapa, ubi kayu, jagung, kedelai dan tanaman bunga matahari. Untuk menghasilkan setiap giga joule bionergi (minyak), tanaman rapeseed (tanaman minyak nabati Eropa) memerlukan 184 m3 air.
Sementara, tanaman kelapa yang juga banyak ditemukan di Indonesia, Philipina, India memerlukan air dengan rata-rata sebesar 126 m3 Ubi kayu (penghasil etanol) juga memerlukan air dengan rata-rata sekitar 118 m3.
Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa kelapa sawit ternyata termasuk paling hemat (setelah tebu) dalam menggunakan air untuk setiap Giga Joule (GJ) bioenergi yang dihasilkan. Kelapa sawit hanya menggunakan air sebanyak 75 m3, sedangkan kedelai memerlukan rata-rata 100 m3 air untuk setiap GJ bioenergi yang dihasilkan. Mekonnen & Hoekstra (2010) juga melakukan penelitian mengenai perbandingan kebutuhan air pada pada komoditas pertanian dengan menggunakan konsep “water footprint”.
Definisi dari konsep tersebut adalah total volume air (freshwater) yang digunakan komoditas pertanian untuk memproduksi suatu produk. Secara total, komoditas pertanian dengan persentase global water footprint yang terbesar selama periode tahun 1996-2005 adalah gandum (15 persen), padi (13 persen) dan jagung (10 persen). Sementara itu, kontribusi kelapa sawit hanya sebesar 2 persen terhadap global water footprint.
Konsep Water Footprint pada penelitian Mekonnen & Hoekstra (2010) juga menggunakan tiga definisi sumber air yang berbeda yaitu:
(a) Blue Water yang mengacu pada air permukaan dan air tanah yang dikonsumsi (evaporasi);
(b) Green Water yang mengacu pada air hujan yang dikonsumsi;
(c) Grey Water mengacu pada kebutuhan air yang diperlukan untuk mengasimilasi polutan berdasarkan standar kualitas air eksisting, dimana Grey Water juga dijadikan sebagai indikator dari volume polusi air.
Hasil penelitian Makonnen & Hoekstra (2010) juga menyajikan informasi keterkaitan antara kebutuhan air pada berbagai komoditas feedstock biodiesel.
Dalam penelitian tersebut mengungkap kan untuk menghasilkan 1 liter biodiesel, kebutuhan air yang digunakan oleh kelapa sebagai feedstock sebesar 157,617 liter air. Sementara itu, feedstock lain yang banyak digunakan oleh industri biodiesel dunia seperti bunga matahari, kedelai dan rapeseed juga memiliki kebutuhan air yang relatif tinggi untuk menghasilkan 1 liter biodiesel yakni berturut-turut sebesar 15,841 liter air, 11,397 liter air, dan 6,429 liter air.
Sedangkan kebutuhan air yang digunakan oleh kelapa sawit untuk menghasilkan 1 liter biodiesel hanya sebesar 5,166 liter air. Hal ini menunjukkan fakta bahwa selain dapat menghasilkan energi yang ramah lingkungan, kelapa sawit juga membutuhkan air yang lebih rendah dibandingkan feedstock lain.
Berdasarkan indikator global water footprint periode tahun 1996-2005 menunjukkan bahwa persentase konsumsi air yang dibutuhkan kelapa sawit secara global hanya sebesar 2 persen atau sebesar 1,097 m3 per ton. Sedangkan tanaman serelia (seperti gandum, padi, jagung) dan kedelai memiliki persentase water footprint berkisar 5-15 persen.
Hasil studi yang menarik lainnya adalah sumber utama pemenuhan kebutuhan air pada perkebunan kelapa sawit adalah green water atau air hujan.
Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit tidak mengeksploitasi air tanah dan bersaing dengan manusia. Implikasi dari hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa jika pada kondisi “Dunia Tanpa Sawit” melalui gerakan “No Palm Oil” atau “Palm Oil Free” maka proses penyediaan minyak nabati dunia akan bergeser dari tanaman minyak nabati relatif hemat air (minyak sawit) ke minyak nabati relatif boros air seperti minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari.
Dengan demikian, gerakan dan kampanye “No palm Oil” atau “Palm Oil Free” untuk menciptakan kondisi “Dunia Tanpa Sawit”, justru merupakan gerakan menuju kerusakan lingkungan global yang lebih buruk.
Perkebunan kelapa sawit merupakan tanaman minyak nabati yang paling tinggi produktivitasnya dan efisien dalam penggunaan lahan. Selain itu, minyak sawit juga memiliki siklus produksi (life span) yang relatif panjang (dengan umur tanaman 25 tahun) sehingga mampu memproduksi.
minyak dengan pasokan yang relatif stabil. Selain volume produksi minyak yang besar dan stabil, tanaman kelapa sawit juga memiliki kemampuan carbon sink dan carbon sequestration yang relatif tinggi dibandingkan tanaman minyak nabati lainnya.
Dengan kondisi “Dunia Tanpa Sawit” justru akan memicu deforestasi dunia yang lebih luas dengan tambahan deforestasi seluas 167 juta hektar. Selain tambahan deforestasi, kerugian lingkungan lainnya yang ditimbulkan adalah biodiversity loss dunia yang lebih tinggi dan emisi karbon yang lebih tinggi dalam penyediaan minyak nabati dunia.
Kondisi ini juga meningkatkan emisi/polutan residu Nitrogen, Fosfor dan Pestisida. Penyediaan minyak nabati dunia akan bergeser dari tanaman minyak nabati relatif hemat air (minyak sawit) ke minyak nabati relatif boros air seperti seperti minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari.
Dengan demikian, gerakan dan kampanye “No palm Oil” atau “Palm Oil Free” untuk menciptakan kondisi “Dunia Tanpa Sawit”, justru merupakan gerakan menuju kerusakan lingkungan global yang lebih buruk.
Sumber:palmoilina.asia