BIODIVERSITY LOSS PADA “DUNIA TANPA SAWIT”
Studi yang dilakukan oleh Beyer et al., (2020) serta Beyer and Rademacher (2021) mengenai komparasi biodiversity loss global antar minyak nabati dengan membandingkan biodiversitas tutupan lahan antara sesudah dan sebelum dikonversi menjadi tanaman minyak nabati.
Studi tersebut mengukur indikator jejak (footprint) Species Richness Loss (SRL) per liter minyak yang dihasilkan sebagai ukuran biodiversity loss.
Hasil studi tersebut menggunakan SRL minyak sawit sebagai pembanding dan mengungkapkan bahwa SRL minyak kedelai 284 persen diatas SRL minyak sawit, SRL minyak rapeseed 79 persen diatas SRL minyak sawit dan SRL minyak biji bunga matahari 44 persen diatas SRL minyak sawit.
Artinya dengan SRL sebagai indikator biodiversity loss menunjukkan bahwa minyak sawit adalah minyak nabati yang paling rendah biodiversity loss-nya. Sementara itu, minyak nabati yang paling besar biodiversity loss-nya adalah minyak kedelai.
Hal yang menarik dari studi tersebut juga menunjukkan bahwa SRL masingmasing negara produsen minyak nabati utama dunia juga berbeda-beda (Beyer dan Rademacher, 2021). Untuk produsen minyak sawit, SRL di Indonesia, Malaysia dan Thailand lebih rendah dibandingkan dengan SRL minyak sawit di Nigeria.
Untuk minyak kedelai, SRL Brazil dan Argentina jauh lebih tinggi dibandingkan SRL minyak kedelai Amerika Serikat dan India. Sementara untuk minyak rapeseed, SRL yang paling rendah di Kanada dan Jerman, sedangkan SRL minyak rapeseed tertinggi di India dan Australia.
Untuk minyak biji bunga matahari, SRL terendah di Perancis dan Amerika Serikat, kemudian disusul Rusia, Ukrania dan China. Hasil studi Beyer et al. (2020) yang menunjukkan untuk setiap liter minyak nabati yang diproduksi, minyak sawit memiliki biodiversity loss paling rendah dibandingkan dengan sumber minyak nabati utama lainnya. Oleh karena itu, “Dunia Tanpa Sawit” berarti juga menyebabkan biodiversity loss dunia yang lebih tinggi.