PALEMBANG, GLOBALPLANET - Industri minyak sawit dunia memperoleh perhatian masyarakat global setidaknya dalam tiga dekade terakhir. Pertumbuhan produksi minyak sawit yang relatif cepat sering dikaitkan dengan isu lingkungan seperti deforestasi, biodiversity loss, emisi dan isu lainnya.
Paradigma tersebut dijadikan landasan dalam berbagai kampanye “No Palm Oil”, atau “Palm Oil Free”, serta “Zero Deforestation” hingga kebijakan RED II ILUC Uni Eropa. Tujuan dari kampanye dan kebijakan tersebut adalah untuk memphase-out atau menciptakan “Dunia Tanpa Sawit”.
Hal ini memunculkan pertanyaan yakni apakah dari segi kelestarian lingkungan hidup, dunia akan lebih baik tanpa minyak sawit?
Empirical evidence menunjukkan bahwa kondisi “Dunia Tanpa Sawit” justru akan memicu deforestasi dunia yang lebih luas, biodiversity loss dunia yang lebih tinggi, emisi karbon yang lebih tinggi, peningkatan polutan tanah/air polutan residu dan eksploitasi sumberdaya air (boros air).
KEUNGGULAN MINYAK SAWIT
Minyak sawit memiliki berbagai keunggulan (dibandingkan minyak nabati lainnya).
Pertama, perkebunan sawit memiliki ukuran batang yang relatif besar, tumbuh dengan cepat dan memiliki siklus hidup (life span) yang panjang (umur tanaman 25-30 tahun).
Dengan karakteristik yang demikian, kebun sawit memiliki kemampuan carbon sink dan carbon sequestration yang relatif besar dibandingkan minyak nabati lainnya.
Kedua, produktivitas minyak per hektar (Gambar 1) sekitar 8-10 kali produktivitas minyak nabati lainnya (minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak biji bunga matahari).
Kelapa sawit tidak hanya paling efisien dalam penggunaan lahannya tetapi juga paling tinggi produktivitas minyaknya. Rata-rata produktivitas minyak kelapa sawit (CPO+CPKO) mencapai 4.3 ton per hektar.
Sementara itu, produktivitas tanaman rapeseed, bunga matahari dan kedelai dalam menghasilkan minyaknya berturut-turut hanya sebesar 0.7 ton per hektar, 0.52 ton per hektar dan 0.45 ton per hektar.
Ketiga, minyak sawit memiliki volume relatif besar bahkan yang terbesar dalam pasar minyak nabati dunia. Menurut data USDA (2021), volume produksi minyak sawit (CPO+PKO) dunia mencapai 84.2 juta ton atau sekitar 40.3 persen dari total produksi minyak nabati dunia.
Dengan volume minyak sawit dunia yang begitu besar, dinamika pasokan minyak sawit dunia secara signifikan juga akan mempengaruhi dinamika pasar minyak nabati dunia.
Keempat, pasokan minyak sawit relatif stabil dari bulan ke bulan sepanjang tahun. Minyak sawit diproduksi dari pohon kelapa sawit yang telah berumur 4 tahun. Dengan komposisi tanaman yang ideal, kelapa sawit dapat menghasilkan minyak (CPO dan PKO) dengan volume yang stabil setiap bulan sepanjang tahun hingga pohon berumur 25 tahun.
Stabilitas pasokan minyak sawit tersebut memberi kepastian di pasar minyak nabati dunia.
Kelima, harga minyak sawit dunia lebih kompetitif (murah) dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.
Dengan keunggulan harga minyak sawit yang lebih kompetitif atau lebih murah serta ditambah dengan volume besar dan pasokan stabil, minyak sawit dapat mencegah terjadinya kenaikan harga berlebihan pada minyak nabati lain.
Fakta tersebut juga terkonfirmasi dari studi Kojima et al. (2016) dan Cui & Martin (2017) yang mengungkapkan bahwa jika terjadi kenaikan harga minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak biji bunga matahari, maka akan disertai dengan peningkatan konsumsi minyak sawit sehingga dapat meredam kenaikan harga yang berlebihan dari ketiga minyak nabati tersebut.
Keenam, minyak sawit merupakan bahan baku yang penggunaanya sangat luas baik baik untuk produk oleofood complex (misalnya minyak goreng, margarine, shortening, chocolates, snacks, etc); oleochemical complex (cosmetic products, soaps and detergents, grease, and printer ink, etc) maupun biofuel complex (biodiesel, green fuel dll).
Penggunaan minyak sawit yang luas dalam berbagai aspek kehidupan, tidak hanya digunakan oleh hampir seluruh sektor-sektor ekonomi tetapi juga terjadi pada hampir seluruh negara dunia. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dunia memiliki ketergantungan pada minyak sawit (Shigetomi et al., 2020).