Berdasarkan kajian Euro Lex, biodiesel sawit dapat menghemat emisi karbon hingga 62 persen. Tentu saja hal ini berbanding terbalik dengan emisi yang berasal dari energi fosil yang selama ini telah kita gunakan.
Kemampuan penghematan emisi biodiesel sawit juga lebih tinggi daripada biodiesel minyak nabati lainnya. Misalnya biodiesel rapeseed sebesar 45 persen, kedelai 40 persen, dan bunga matahari 58 persen. Bahkan beberapa kajian ilmiah juga menunjukkan kemampuan emisi karbon pada biodiesel sawit sebesar 40-71 persen.
Selama periode 2010-2020, kebijakan mandatori biodiesel diimplementasikan di Indonesia, dan penghematan emisi mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pengurangan emisi GRK meningkat dari hanya sekitar 592.3 ribu ton CO2 di tahun 2010 meningkat menjadi 22.3 juta ton CO2 pada tahun 2020. Dengan kata lain, peningkatannya sebesar 400 kali lipat.
Source: algbio.com
BIODIVERSITY-LOSS KEBUN SAWIT LEBIH RENDAH DARI MINYAK NABATI LAIN
Sejak tahun 2006, Indonesia menjadi negara yang menghasilkan minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pertumbuhan luas perkebunan sawit juga relatif lebih cepat dalam 20 tahun terakhir dari sekitar 4.16 juta hektar tahun 2000 menjadi 14.46 juta hektar di tahun 2019.
Pertumbuhan yang masif ini menyebabkan tudingan negatif kepada kelapa sawit pun terus melebar. Kelompok anti sawit menyebutkan bahwa produksi minyak yang dihasilkan menyebabkan penurunan biodiversitas.
Sebuah studi Koh dan Wilcove tahun 2008 lalu menyebutkan bahwa perkebunan sawit akan menyebabkan hilangnya 13-42 persen spesies dalam ekosistem. Tuduhan tersebut menjadi salah satu dasar argumen pembenaran atas aksi proteksionisme dalam perdagangan minyak nabati global.
Padahal pengelolaan pembangunan di Indonesia justru memberikan perhatian khusus pada tata kelola pelestarian biodiversity. Bahkan apabila melihat lebih mendalam, perkebunan sawit sendiri sudah menjadi bentuk pelestarian biodiversity dari generasi ke generasi.
Betulkah biodiversity loss akibat perkebunan kelapa sawit jauh lebih tinggi daripada tanaman minyak nabati lainnya?
Sebuah studi yang dilakukan oleh Beyer dkk tahun 2020, membandingkan tingkat biodiversity loss sebagai dampak dari kegiatan produksi minyak nabati global. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa SRL minyak kedelai 284 persen diatas SRL minyak sawit. Di mana SRL (Species Richness Loss) per liter minyak yang dihasilkan merupakan indikator biodiversity loss.
Sementara SRL minyak rapeseed 79 persen diatas SRL minyak sawit. Begitu juga dengan minyak biji bunga matahari yang menunjukkan hasil 44 persen diatas SRL minyak kelapa sawit.
Dengan demikian, dapat Anda ketahui bahwa biodiversity loss akibat memproduksi minyak sawit paling rendah dibandingkan minyak nabati lainnya. Sementara minyak nabati yang paling besar menyebabkan biodiversity loss justru berasal dari kedelai.
Apabila komunitas global sepakat untuk menyelamatkan lingkungan, seharusnya gerakan yang dilakukan adalah mempromosikan penggunaan minyak sawit yang terbukti paling sustainable. Bukan malah menentang dan menggantikan minyak sawit.
Komunitas global juga harus mendukung upaya peningkatan produktivitas minyak sawit dan minyak nabati lainnya. Karena peningkatan produktivitas menjadi strategi yang sustainable secara ekonomi, sosial dan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati di masa depan namun dapat mencegah terjadinya deforestasi dan biodiversity loss.
MINYAK SAWIT MENYEHATKAN LINGKUNGAN
Minyak sawit mengandung vitamin A dan E yang dapat menyehatkan tubuh. Selain itu, juga mengandung tocotrienol. Berbeda dengan minyak nabati lainnya yang tidak mengandung tokotrienol. Minyak sawit juga tidak mengandung lemak trans.
Dalam proses produksi minyak sawit juga dapat menyehatkan lingkungan karena membersihkan sampah karbondioksida dari udara dan menghasilkan oksigen.
Selain itu, mekanisme kedua dari industri sawit dalam rangka menyehatkan kehidupan manusia di planet bumi adalah penyehatan luar tubuh dan lingkungan. Yakni dengan cara produksi dan penggunaan produk oleokimia seperti biosurfaktan berbasis minyak sawit.
Oleokimia merupakan senyawa kimia yang dihasilkan dari lemak dan minyak baik yang berasal dari tumbuhan atau hewan. Itulah alasannya mengapa oleokimia kerap disebut dengan biobased chemical.
Pernahkah terpikir di benak Anda bahwa produk yang tersedia di supermarket merupakan hasil olahan minyak kelapa sawit? Menurut hilirisasi, produk oleokimia terbagi menjadi tiga, yakni oleokimia dasar, oleokimia antara serta produk akhir yang menggunakan oleokimia.
Produk-produk yang termasuk ke dalam kategori oleokimia dasar meliputi fatty acid, fatty alkohol, glycerol/ gliserin dan methyl ester. Sedangkan produk yang tergolong oleokimia antara adalah seluruh senyawa kimia yang merupakan hasil dari pengolahan lanjutan oleokimia dasar. Misalnya asam lemak etoksilat, fatty alcohol etoksilat, monoacylglycerol, soap noodle dan lainnya.
Sementara produk yang termasuk sebagai produk akhir oleokimia adalah produk akhir yang konsumen konsumsi dan menggunakan intermediate oleochemical produk. Seperti bahan baku kosmetik, personal care, foam booster, adhesive dan lainnya.
Seperti yang Anda ketahui, produk-produk oleokimia atau biosurfaktan tersebut dapat Anda temui di deterjen, shampo, pasta gigi, sabun dan lainnya. Produk higienitas lainnya yang berbasis oleokimia sawit juga menyehatkan lingkungan karena mudah terurai alami, non-toxic dan dapat diperbarui.